Materi esensial perlu dikemas dalam bentuk narasi kontekstual, studi kasus nyata, atau masalah autentik yang dekat dengan kehidupan siswa. Materi pengayaan memberi ruang eksplorasi, misalnya proyek, diskusi lintas bidang atau tugas berbasis riset kecil/sederhana. Asesmen formatif dan sumatif tidak hanya tes tertulis, tetapi juga portofolio, jurnal refleksi, dan produk kreatif. Refleksi menjadi bagian akhir yang penting: siswa diajak menuliskan pemahaman, perasaan, dan kaitan dengan pengalaman pribadi.
Khusus untuk penerbit, tantangan editorial adalah dengan melibatkan editor-editor kreatif yang bukan hanya spesialis, melainkan juga generalis sehingga mereka dapat memberikan saran kepada penulis dalam banyak hal, seperti penambahan dan pengurangan materi (yang tidak diperlukan), pengayaan materi, variasi asesmen formatif dan sumatif, serta penyajian buku dengan pendekatan menunjukkan (to show) dan mengisahkan (story telling), bukan sekadar memberi tahu (to tell). Editor juga dapat menyarankan visualisasi sehingga materi buku lebih mudah dipahami.
Saran saya, para editor perlu menjadikan buku-buku dari negara yang telah maju pendidikannya sebagai bench mark lalu disesuaikan dengan konteks Indonesia. Jadi, bukan sekadar diembel-embeli telah sesuai dengan kurikulum, melainkan juga memang benar-benar memberi pengalaman belajar yang reflektif, kolaboratif, dan rekreatif bagi murid.
Penerbit dalam hal ini dapat melakukan praktik uji coba penggunaan buku langsung kepada guru dan murid. Umpan balik dari para guru dan murid akan sangat berguna dalam penyempurnaan buku sebagai bahan ajar primer yang mengandung jiwa pembelajaran mendalam. Namun, sejatinya buku teks perlu bersifat adaptif sehingga dapat diperbarui secara berkala.
Buku Teks dengan Formula Rasa Pembelajaran Mendalam
Tantangan penyusunan buku teks dengan formula "rasa" pembelajaran mendalam yang kaya justru terdapat pada internal Kemendikdasmen sendiri, yaitu Pusat Perbukuan. Lembaga itu merupakan lembaga resmi di bawah Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) yang memang berwenang dalam urusan perbukuan, khususnya buku pendidikan.
Pertanyaannya: Apakah Pusat Perbukuan sudah menyiapkan formula untuk buku teks dengan "rasa" pembelajaran mendalam? Jika sedang dirancang sebuah formula oleh Komite Penilaian Buku Teks dan editor Pusat Perbukuan, penerbitan dari masyarakat (swasta) dapat menjadikannya rujukan meskipun penerbit swasta juga dapat mengembangkan kreativitas dan inovasi sendiri sebagai pembeda dengan buku teks lainnya.
Saya sendiri pernah terlibat sebagai penulis buku teks utama pada awal pemberlakuan Kurikulum Merdeka yang diterbitkan oleh Pusat Perbukuan. Tentu saja saya perlu langsung beradaptasi dalam penulisan dengan cara mempelajari konten dan konteks kurikulum, menyusun alur tujuan pembelajaran, menyusun kerangka buku teks dalam format bab, dan menulis materi tiap bab sebagai drafting.
Hal itu sungguh melelahkan dan merepotkan karena lebih dari satu dekade saya tidak pernah lagi menulis buku teks. Menulis buku teks berbasis Kurikulum Merdeka praktis menjadi pengalaman baru menggunakan kreativitas dan inovasi pembelajaran.Â
Dalam konteks itu, saya menyusun formula buku teks secara mandiri. Boleh jadi formula itu tepat dan boleh jadi masih memerlukan kembali penyusunan ulang yang lebih kontekstual.Â
Sejatinya menulis buku itu sendiri merupakan praktik langsung dari deep learning karena penulis berproses bukan menulis buku secara instan. Sebagaimana ucapan Donald M. Murray, tokoh pendidikan dan penulis: "Menulis itu berproses, bahkan proses yang tidak pernah selesai."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI