Semua guru adalah sama, sampai salah seorangnya menulis buku teks bermutu. Ia membuat murid yang tadinya tidak tahu menjadi tahu; yang tahu menjadi paham; yang paham menjadi melakukan; yang melakukan menjadi menganalisis; yang menganalisis menjadi mengevaluasi; dan yang mengengevaluasi menjadi mampu menciptakan sesuatu.
Akhir September 2025, saya dijadwalkan memberi pelatihan penulisan dan penyuntingan buku teks (pendamping) dan sertifikasi profesi (penulis dan editor) untuk sekira 87 orang guru-guru dan kepala sekolah YPI Al Azhar. YPI Al Azhar merupakan salah satu sekolah swasta yang merintis pengembangan buku teks secara mandiri dengan melibatkan guru penulis. Model itu merupakan praktik baik dalam pembelajaran yang lebih kontekstual dengan kebutuhan lembaga pendidikan.
Penerbitan buku teks pendamping untuk internal YPI Al Azhar dilaksanakan oleh PT Tanmiyah Al Azhar sebagai penerbit. Misi menyiapkan bahan ajar yang bermutu dengan pendekatan profesional telah mendorong PT Tanmiyah Al Azhar mengadakan kegiatan peningkatan kapasitas guru sebagai penulis buku. Betul bahwa pendidikan dan pengajaran mutlak dikuasai oleh para guru, tetapi penulisan buku teks adalah soal lain. Jadi, benarlah bahwa semua guru itu adalah sama, sampai salah seorangnya menulis buku.
Sekarang hal itu bertambah lagi jika posisi guru menjadi istimewa ketika ia mampu menulis buku dengan formula pembelajaran mendalam (deep learning). Isu baru dunia pendidikan itu telah dibawa oleh "imam" pendidikan dasar dan menengah saat ini, Mendikdasmen, Abdul Mu'ti. Konsep pembelajaran mendalam disambut antusias oleh kalangan pendidik, sekaligus memunculkan pertanyaan: Bagaimana pendekatan itu dapat diwujudkan dalam praktik pembelajaran sehari-hari?
Salah satu instrumen paling penting atau bahan ajar primer dalam pembelajaran adalah buku teks. Berdasarkan UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan, buku teks terbagi atas buku teks utama dan buku teks pendamping. Sebagaimana beberapa kali ditekankan Mendikdasmen Abdul Mu'ti bahwa deep learning adalah pendekatan pembelajaran, bukan sebagai kurikulum baru maka di dalam penulisan dan penyusunan buku teks, ia dapat diterapkan sebagai formula rasa atau bahkan jiwa buku itu sendiri.
Guru Penulis Sebagai "Koki" Buku Teks
Seorang guru yang sekaligus berperan menjadi penulis buku teks sudah ada sejak dahulu karena guru termasuk yang paling memahami bagaimana suatu pelajaran diajarkan kepada para murid berdasarkan landasan pedagogik. Guru dari generasi ke generasi beradaptasi dengan kebijakan pemerintah, seperti kurikulum dan model pembelajaran.
Jika kurikulum adalah bahan-bahan untuk "memasak" sebuah mata pelajaran, 'pembelajaran mendalam' adalah sebuah resep untuk meramunya. Namun, sebaik apa pun sebuah resep, di tangan seorang koki yang tidak menguasai "jiwa" memasak dan seni memasak, makanan akan tetap hambar dan tidak enak. Ibarat Anda mampir ke sebuah resto yang memamerkan salah satu menu masakan rawon, tetapi begitu dipesan dan disantap, seperti bukan rawon atau rawon versi salah buat.
Jadi, pembelajaran mendalam atau deep learning jangan lagi ditempatkan sebagai label, jenama, atau jargon seperti halnya terjadi pada masa-masa lalu. Sering kali label, jenama, dan jargon itu tidak sesuai dengan isinya. Saya menengarai dalam waktu dekat akan muncul buku-buku teks pendamping (buku yang dibuat masyarakat swasta) mencantumkan label deep learning, padahal isi dan penyajian buku sama sekali atau minim menampilkan sajian buku berformula rasa deep learning yang menyadarkan, mencerdaskan, dan menyenangkan.
Lalu, bagaimana model sederhana membenamkan (embended) pembelajaran mendalam pada materi esensial, materi pengayaan, dan asesmen di dalam buku?
Landasan Pembelajaran Mendalam pada Buku Teks
Ada tiga pilar yang menjiwai pembelajaran mendalam, mindful (kesadaran penuh), meaningful (pembelajaran bermakna), dan joyful (menyenangkan). Dalam kerangka itu, pembelajaran bukan sekadar transfer pengetahuan dan keterampilan, tetapi proses membentuk pribadi yang reflektif, kritis, kreatif, dan berdaya.