Bayangkan pagi yang tenang. Mata baru saja terbuka, sinar matahari menyelinap lewat jendela. Tapi sebelum sempat menarik napas dalam-dalam, ting!---notifikasi pertama muncul. WhatsApp dari grup kantor. Lalu email. Lalu reminder dari aplikasi kalender. Dalam hitungan menit, ketenangan pagi berubah menjadi arus deras informasi.
Selamat datang di era digital. Di mana notifikasi bukan lagi pengingat, tapi pemicu stres.
Notifikasi: Si Kecil yang Mengganggu Besar
Menurut laporan terbaru, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 5,7 jam per hari di depan layar gadget. Indonesia bahkan dinobatkan sebagai salah satu negara dengan durasi penggunaan perangkat digital tertinggi di dunia.
Namun, dampaknya tidak sepele. Studi menunjukkan bahwa dibutuhkan rata-rata 23 menit untuk mengembalikan fokus setelah terganggu oleh notifikasi. Bayangkan jika itu terjadi puluhan kali sehari---berapa banyak waktu dan energi mental yang terkuras?
Gen Z dan Kecemasan Digital
Generasi muda, khususnya Gen Z, menjadi kelompok paling rentan. Mereka hidup dalam dunia yang selalu "on", di mana ketertinggalan informasi bisa memicu FOMO (Fear of Missing Out), kecemasan, bahkan depresi.
Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, psikolog dari Universitas Indonesia, menekankan bahwa tekanan digital dan FOMO dapat menyebabkan burnout yang serius. "Tekanan digital memang tidak bisa kita hindari, tapi kita bisa belajar untuk membatasi, mengelola, dan tetap menjaga kesehatan mental kita," ujarnya dalam webinar Hantari MindSHIFT.
Burnout Digital di Dunia Kerja
Di tempat kerja, fenomena "always available" menciptakan tekanan yang tak terlihat. Email, Slack, Teams, dan grup WhatsApp kerja membuat batas antara waktu kerja dan waktu pribadi semakin kabur.
Menurut WHO, hampir satu miliar orang di dunia mengalami gangguan kesehatan mental, dan jumlah tersebut meningkat seiring dengan tekanan sosial di era digital. Burnout kini diakui sebagai fenomena kelelahan kerja yang diklasifikasikan sebagai penyakit internasional, dengan gejala seperti kelelahan ekstrem, alienasi dari pekerjaan, dan penurunan performa.
Kutipan Psikolog Indonesia
Ketua Umum Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, Indria Laksmi Gamayanti, menyatakan bahwa digitalisasi meningkatkan risiko stres dan depresi. "Kecenderungan orang menjadi lebih mudah stres dan depresi cukup tinggi. Hal-hal yang sifatnya empati dan ketulusan menjadi berkurang karena orang mengukur nilai diri secara superfisial," ujarnya.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kabar baiknya, solusi ada. Tapi dimulai dari kesadaran.
- Matikan notifikasi yang tidak penting.
- Gunakan fitur "Do Not Disturb" saat istirahat atau bekerja.
- Tetapkan batas waktu penggunaan gadget.
- Latih mindfulness---bernapas, hadir, dan sadar.
- Bicara. Jangan simpan sendiri.