Mohon tunggu...
Bagus Styoko Purwo
Bagus Styoko Purwo Mohon Tunggu... Guru - Guru di Bekasi Kota

Menulis tema-tema kehidupan. Fiksi dan non Fiksi. Mengajar diperguruan tinggi di Bekasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penghuni Terakhir

11 September 2016   21:38 Diperbarui: 11 September 2016   21:43 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penghuni Terakhir

Cerpen Bagus Styoko Purwo

“Bagaimana dengan penduduk aslinya, pak?”

“Atur saja menurut baikmu. Saya tahunya tinggal beres. Apa-apa yang kamu perlukan katakan saja. Pasti saya penuhi.” Hempasan lisong yang mengepul dari mulutnya berpendar ke udara. Lelaki yang merupakan salah satu dari penduduk asli anak pulau itu berusaha mencari jalan pintas agar yang Tuan besar inginkan bisa terwujud meski tidak sedikit kendala yang menghadang. Lelaki itu masih berkutit bersama kertas yang ia pegang. Sedangkan waktu tak lagi cerah. Bulir-bulir segar terasa di ubun-ubun sehingga kertas yang semula kering berubah basah tanpa mampu ia lindungi. Langkah-langkahnya mengajak ia kembali ke rumah. Merenungi apakah yang akan ia lakukan nanti bertentangan dengan hati nurani.

Musim menemukan pasangannya ketika bulan naik peraduan. Daun-daun yang gugur di atas tanah kering berserakan bersama desir angin yang merayap di bukit-bukit tak bertuan. Ketika pesona alam anak pulau terteropong para pelancong, mereka silih berganti bertandang. Berlagak hebat di atas tanah leluhur. Bersorak sorai di iringi gemuruh ombak. Dan untuk kesekian lamanya di tahun yang tak lagi muda, ia menganggap kehidupan ini semakin mendekati kematian. Sama dengan status yang tak lama lagi melekat padanya. Pengangguran. Rasanya kemujuran sudah enggan berpihak padanya. Bagaimana mungkin bisa menyambung hidup bila mata pencarian sudah tidak bisa lagi ia raih. Lantas, bagaimana dengan nasib keluarga – istri dan dua anaknya yang mereka tak bisa memungkiri bahwa kebutuhan hidup semakin ke sana semakin payah untuk di raih.

Kejam, pikirnya singkat. Ia tak tahu mesti melangkah ke mana. Harus mengadu ke siapa. Ketika himpitan hidup menyesakan nafasnya. Bisa mampus seketika. Namun ia masih percaya bahwa Tuhan tak akan tinggal diam. Tuhan dari agama mana yang tega membiarkan ciptaan-Nya mati konyol hanya gara-gara tidak mempunyai pekerjaan. Tuhan selalu baik padanya dan juga pada siapa saja yang masih terlalu sering mangkir atas setiap perintah-Nya.

Maka ketika Tuan besar menyambangi rumahnya, ia buru-buru membasuh wajahnya yang kusut. Mengenakan asal kaos yang menyelampir tak jauh dari tempat ia tidur.

“Apa kabar Tuan?” Tanyanya basa-basi.

“Baik-baik. Waktuku tak banyak. Apakah kamu ingin bekerja padaku?” Tawaran Tuan besar adalah jawaban atas pertanyaan dirinya; apa benar Tuhan menyayanginya.

Tanpa lagi berfikir, ia nyatakan dengan gembiran tawaran Tuan besar.

            “Tentu Tuan. Saya sudah lama menganggur. Saya butuh pekerjaan, Tuan. Apa saja saya kerjakan.” Tuan besar mengangguk-angguk. Dari saku celananya, ia lorot dompet tebalnya. Ia raih lima lembar uang seratus ribu rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun