Mohon tunggu...
Aziz Husrin
Aziz Husrin Mohon Tunggu... mahasiswa

hobi menulis, olah raga dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Jangan Keraskan Hatimu" eps 2

1 Juni 2025   00:09 Diperbarui: 1 Juni 2025   00:13 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tempat yang Tak Sempat" part2

penulis : si biloo

Sudah sebulan berlalu, namun semangat hidupku masih tersesat entah ke mana. Hari-hariku berjalan seperti bayangan, pulang kerja hanya untuk berbaring, lalu larut dalam pusaran over thinking yang tak ada ujungnya. Gelisah ini begitu nyata, namun terasa seperti lelucon buruk yang tak bisa aku paham maksudnya. Aku berusaha bangkit dari keterpurukan tiga bulan terakhir, namun setiap upaya terasa sia-sia, seperti mendayung di lautan tanpa arah, terombang-ambing dalam kehampaan.

Promosi datang dari hasil kera kerasku, lalu aku di nobatkan sebagai kepala grup di tempat kerjaku. Jabatan yang dulu aku pikir akan membawaku pada kebanggaan, justru terasa kosong. Seperti berdiri di atas panggung megah, tapi tak ada penonton, tak ada tepuk tangan, tak ada makna. Dunia berubah menjadi beban, dan segala pencapaian hanyalah paragraf tanpa isi dalam buku hidupku.

Enam bulan telah berlalu, dan akhirnya aku menyerah. Aku mundur dari pekerjaan, tepat ketika beasiswa dari perusahaan baru saja kudapat. Ironi? Mungkin. Tapi lebih dari itu, semua pencapaian ini terasa seperti batu besar yang menindih dadaku. Pertanyaan orang-orang datang bertubi-tubi:
"Kamu sudah enak bekerja, dapat promosi, hidup mandiri... kurang apa lagi?"

Tak ada yang bisa kujawab. Mereka tak akan mengerti. Mereka melihat kulit, bukan luka. Mereka membaca hidupku dari sampul, bukan dari halaman-halaman gelap di dalamnya.

"Hasrat yang terkuak oleh raga yang tak terkuak, memilih meninggal tanpa menyadari banyak hal yang kita butuh, tumbuh dan tersentuh."

Menjadi manusia itu menyakitkan. Aku hanyut dalam ketidakpastian, dalam sunyi yang menelan hatiku perlahan. Tapi dari reruntuhan ini, aku mencoba bertahan. Dengan keras kepala yang nyaris seperti doa, aku mulai menyusun kembali hidupku, dengan tangan kotor dan hati yang compang-camping. Aku membangun sebuah gubuk rapuh, tempat bernaung bagi semua luka dan ketidakpastian.

Dari sudut mataku, dunia tampak seperti teka-teki yang tak pernah selesai. Kesedihan dan kebisingan berlarian di dalam pikiranku, seperti peluru yang menembus lapisan-lapisan kelemahan. Bukan di depan mataku peluru itu meledak, tapi tepat di jantungku, yang kini bergetar dalam senyap derita.

Namun, meski gubuk ini rapuh, di sinilah aku mulai belajar: bahwa tak semua rumah harus kokoh untuk menjadi tempat pulang. Dan mungkin, dari sinilah semuanya akan dimulai kembali.

Kini, dengan sisa-sisa harapan yang terkoyak, aku berdiri di ambang pintu, merasakannya kembali. Menerima bahwa setiap keputusan yang kuambil, setiap langkah yang kuambil tidak dapat memutar balik waktu. Namun, di tengah kebisingan ini, rasa penyesalan yang terus membara seharusnya tidak menghentikanku untuk melangkah. Ada cakep-cakep harapan lain yang menanti di ujung perjalanan, yang menunggu untuk digenggam dengan sepenuh hati.

Akhirnya, aku membangkitkan semangat yang sempat pudar, menjelajahi kembali seluk-beluk kehidupanku yang penuh warna ini. Merangkul setiap kesempatan, walau terasa berat, dan membiarkan dunia melihat siapa diriku yang sebenarnya. seorang pejuang penuh luka yang berani untuk menapaki jalan baru.

Seiring waktu berlalu, aku belajar bahwa setiap tragedi membawa pelajaran berharga. Menghadapi masa lalu bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi belajar untuk melepaskan adalah kunci untuk menemukan ketenangan. Kini, aku bersiap untuk menjalani babak baru dalam hidup, menatap masa depan dan berjuang untuk mimpiku, karena pada akhirnya, hidup ini terlalu berharga untuk dibuang hanya karena satu kebangkitan yang menyakitkan.

Ya, ini adalah cerita dari seorang pecinta yang tersesat, namun di dalam kegelapan, aku menemukan secercah cahaya yang memberikan harapan baru. Mungkin takdir akan membawa kita pada pertemuan yang indah suatu hari, atau bahkan aku sama sekali tak ingin untuk memilikinya kembali. layaknya sebuah pelangi di tengah hujan. Dan saat itu tiba, aku siap untuk menyambutnya dengan hati yang terbuka.

" ternyata memilih untuk tidak membenci, itu sama seperti mendapatkan ketenangan di kemudian hari. Dan begitu pun ketika aku memilih menerima, itu berarti ketakutan bukan lagi menjadi pilihanku kembali "

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun