Aku meraih tangannya, yang kemudian kubuka telapak tangan besarnya itu. Menyimpan kembali uang itu kegenggamannya.
“Ini terlalu banyak, lagi pula kau seperti kepada siapa saja. Kopiku kau habiskan aku tidak masalah kok, tadi itu bercanda.”
Aku mengatakannya dengan serius, dan pria itu hanya terkekeh meresponku.
Kemudian, tanpa diduga Haru meraih selembaran uang lainnya dari sakunya. Mungkin ada sekitar lima ratus dolar yang dia keluarkan, yang kemudian dia masukkan dengan paksa ke saku jaketku. Kejadian itu cepat sekali, bahkan kata-katanya yang dia keluarkan setelah memasukkan uang itu benar-benar di luar dugaan.
“Harus berapa banyak lagi uang yang harus kubayar agar kau mau keluar denganku, Lea? Aku sungguh tidak kekurangan uang, hanya untuk sekedar membawamu ke restoran mewah di tengah kota ini.”
Aku menelan ludah setelah mendengarnya. Aku tak bisa berkutik, yang kulakukan kini hanya menatap wajah itu yang tampak membuang muka seperti menghindari tatapanku.
“Apa karena dia?”
Haru bertanya lagi, tapi aku memilih diam. Masih menunggu apalagi yang akan dia ucapkan.
“Sudahlah, lupakan.” Pria itu terkekeh. “Kau gunakan saja uang itu untuk mengajak si tolol Sean kencan. Itupun jika kau punya keberanian.”
Setelah mengatakan itu Haru pergi, tanpa berbalik. Meninggalkanku dengan perasaan tak karuan, apalagi kata-kata terakhirnya yang membuatku berpikir. Apakah hatiku buta, karena terlalu mencintai orang lain, sampai orang yang mendambakanku sejak lama selalu kubiarkan pergi setelah kutolak dengan teganya?
Sean, pria yang tadi kusaksikan bahagia bersama kekasihnya di bawah pohon yang bersemi. Mengapa masih aku harapkan sosoknya untuk kumiliki, sedangkan ada pria lain, sahabatku Haru yang benar-benar mencintaiku. Meskipun, mungkin kini dia tampak sudah hampir menyerah. Sepertinya, aku tidak tau diri.