Aku menganga mendengarnya, mulutnya itu memang harus kututup dengan lem tikus. Dia bilang aku pelit? Apa-apaan itu!
Sebelum aku ingin menyanggahnya, jari telunjuknya sudah mendarat di bibirku. Dia seperti mengisyaratkanku untuk diam. Kulihat dia meraih saku pada celana olahraganya dengan tangan kanan, yang ternyata meraih lembaran uang.
“Ini, aku ganti.”
Haru menyerahkan uang dengan nominal seratus dolar kepadaku. Aku semakin dibuat heran, padahal bukan itu maksudku. Ayolah, itu hanya segelas kopi, aku juga tidak merasa keberatan. Hanya saja, bukankah seharusnya dia menunggunya dingin dulu jika memang menginginkan kopiku? Itu masih panas, mulutnya bisa melepuh.
Dan lagi pula, itu terlalu banyak untuk menggantikan kopi seharga kurang dari dua dolar.
“Aku bercanda tau, kau tidak perlu menggantinya. Apaan sih?!”
“Sudahlah, ambil saja. Dah, aku pulang duluan.”
Pria tinggi itu bangkit, meraih botol minumnya dan kemudian siap berjalan meninggalkanku tanpa bersipandang denganku.
“Tunggu dulu, kau mau kemana?!” Tanyaku sambil menahan tangannya, akupun sampai ikut bangkit berdiri.
“Pulang, Lea. Pulang.”
Nada bicaranya begitu dingin, apakah dia merasa kesal atau marah kepadaku?