“Kau tertawa?! Ya…. Ya…. Tertawakan saja nasib malangku. Dasar gadis jahat.”
Kulihat wajah pria itu tampak merajuk. Tangannya bersedekap dada, kemudian membuang muka ke arah kanannya. Aku semakin tertawa karena tingkahnya, lihatlah sekarang, dia seperti anak kecil saja.
“Oke, maafkan aku.”
“Hanya itu yang kau katakan? Serius?”
“Memangnya kau mau aku berbicara apa lagi? Kau tau sendiri jawabannya.” Ucapku, kali ini dengan serius.
Dia menggelengkan kepalanya menatapku tidak percaya. Tiba-tiba saja tangannya meraih kopi yang sejak tadi kutaruh ditengah-tengah kami yang kemudian diteguknya semua, tanpa sisa. Aku melotot. Karena, hei! Itu kopiku, dan aku baru meneguknya satu kali.
“Kau bercanda?”
“Apanya?” Haru mengatakannya tanpa dosa, lidahnya menyapu sisa-sisa tetesan kopi yang ada pada bibirnya. Apa lidahnya tidak melepuh? Dasar gila.
Aku mendelik ke arahnya.
“Kau baru saja meminum habis kopiku, tuan Haru Andrea. Dan itu baru kuteguk satu kali karena masih panas.”
“Serius Lea, setelah menolakku kini kau pelit juga padaku? Memang dasar, penyihir.”