"Aku mempunyai seorang pasien yang tidak dapat kutolong," kata Ahli Bedah sambil menangis tersedu-sedan.
"Siapa dia?" Lalyta Lytani bertanya.
"Aku sendiri," desah Ahli Bedah. "Diriku sendiri. Akalku mulai hilang. Pikiranku mulai membusuk. Keajaiban medis tidak datang dengan mudah. Ilmu tata kenegaraan, yang Raja coba ajarkan kepadaku, akan datang dengan lambat, jauh. Terlalu lambat, terlalu jauh. Aku khawatir ketika Raja meninggal, aku tidak akan mampu melakukan semua yang diharapkan dariku sebagai Raja."
Dia memandang Lalyta Lytani. "Sayangku, bolehkah aku meminta sedikit otakmu? Aku benci bertanya, kecuali kebutuhannya sangat mendesak...."
Dan hati Lalyta Lytani tidak lagi terasa sakit, karena benda itu tidak ada di dirinya.
Lalyta Lytani tidak merasakan apa-apa sama sekali.
Dan Lalyta Lytani berkata, "Tidak."
Sang Ahli Bedah berkedip, pisau bedah sudah ada di tangannya.
Berpikir telinga salah mendengar jawab, dia bertanya lagi. "Bolehkah aku meminta sedikit otakmu, sayangku? Aku benci bertanya...." Dia melangkah ke arah istrinya. Pisau bedahnya terangkat tinggi di atas kepala.
Dan Lalyta Lytani menendang wajah suaminya.
Dia menendangnya berkali-kali.