Tulisannya kasar namun elegan, dengan lengkungan besar dan gerakan yang nyaris seperti tarian.
Anggun dengan hati-hati mengambil buku catatan itu dan perlahan membalik halamannya. Selembar kertas terjepit di antara dua halaman, menguning, melengkung di tepinya. Di atasnya terdapat satu kalimat, ditulis dengan tinta. Sedikit luntur, seolah-olah seseorang telah mengusapnya dengan jari basah.
"Lavender tak pernah lupa."
Dia menatap tulisan itu, seolah-olah kata demi kata akan larut dalam tatapannya dan mengungkapkan makna lain. Namun kata-kata itu tetap ada, diam di sana tak bergerak, seperti gema bisu dari masa yang tak dipahamnya. Kalimat itu membuat sesuatu bergetar di dalam dirinya. Bukan karena mengancam, melainkan karena terasa nyata.
Dia duduk di kursi dapur tua, kayunya berderit menahan berat badannya. Di depannya terbentang meja dapur yang dilapisi taplak minyak dengan motif bunga yang hanya bisa ditebak jenisnya. Jari-jarinya merayap di tepian, mencari sandaran.
Kenangan itu datang perlahan.
Hari musim kemarau yang hangat. Dengung lebah. Aroma pai susu yang baru dipanggang dan lavender melayang melalui jendela yang terbuka. Seorang anak---dirinya sendiri---di pangkuan seorang perempuan berambut abu-abu dan bermata lelah. Tawa yang memudar. Lalu jeritan.
Syok.Â
Darah di pakaian putih.Â
Keheningan.