Anggun memejamkan mata.
Seberapa banyak yang telah dia lupakan? Dan seberapa banyak yang telah dia pendam?
Dia perlahan bangkit, kembali ke lorong dan membuka pintu kamar tidur. Tempat tidurnya tertata rapi ditutupi seprai bersulam. Di meja samping tempat tidur terdapat sepasang kacamata baca, sebotol kecil minyak lavender, dan sebuah novel usang. Sebuah cermin oval tergantung di dinding, memantulkan dan membiaskan cahaya.
Di lantai di depan jendela terdapat sebuah kotak kayu. Anggun berlutut dan membuka tutupnya. Di dalamnya: surat-surat, terbungkus rapi dengan pita biru pucat, beberapa dengan perangko Prancis. Foto-foto tua. Sebuket bunga lavender kering, terbungkus rapi dalam kertas perkamen.
Dia menurunkan tutupnya lagi.
Belum. Dia belum siap untuk membaca semua ini. Dia masih seorang tamu di rumah ini, yang terasa seperti makhluk hidup. Penuh suara, bau, dan bayangan yang tak bisa diusir.
Di luar, hari telah senja. Cahaya redup menembus kaca jendela yang berdebu, membentuk pola di lantai, seperti bayangan kenangan yang ingin menari. Anggun melangkah keluar ke lorong, melihat sekeliling untuk terakhir kalinya. Kemudian dia menutup pintu kamar tidur dan berjalan perlahan kembali menuju pintu masuk.
Dia pikir dia hanya sedang melihat-lihat sebuah rumah.
Tapi ini lebih dari itu.
Sebuah tempat yang bertanya tanpa memberikan jawaban.
Belum.