Anggun perlahan duduk di kursi dekat jendela, yang ditutupi bantal rajutan. Di luar, angin kembali bertiup melintasi lereng, dan di kejauhan, awan gelap bergerak melintasi laut. Tisa meletakkan teko, menuangkan keduanya, dan mendorong sepotong tebal kue mentega ke piring untuknya.
"Makanlah. Kamu sepertinya belum makan sesuatu yang hangat sejak kemarin."
Anggun menggigitnya sedikit. Kue itu lembap, menteganya terasa seperti masa kecil. Dia memejamkan mata sejenak.
"Aku hampir tidak mengenal Malini," katanya lirih. "Aku masih kecil, terakhir kali aku di sini. Setelah itu ... hanya ada keheningan."
Tisa mengangguk pelan, seolah dia sudah menduga hal ini.
"Dia tidak pernah banyak bicara. Bahkan tentangmu pun tidak. Tapi ketika dia memetik lavender, dia bersenandung. Seperti sebuah lagu, kau tahu? Kedengarannya seperti bahasa Prancis. Sangat pelan, hampir seperti doa."
Anggun mendongak. "Bahasa Prancis?"
"Ya. Dulu ada seorang pria di sana. Dahulu kala. Dia sering datang kepadanya secara diam-diam. Tak seorang pun tahu persis dari mana asalnya. Mungkin seorang pekerja, mungkin lebih. Tapi Malini, dia bersemi saat pria itu ada di sana. Setelah itu, dia menjadi pendiam. Bahkan lebih pendiam dari biasanya."
Anggun menggenggam cangkir teh lebih erat. Aroma lavender menguar bersama uap, bercampur dengan serpihan kenangan yang terlalu rapuh untuk diungkapkan.
"Apakah dia pernah memberi tahu siapa pria itu?"
"Hanya sekali. Dia sudah tua waktu itu. Dia bilang hanya pria itu yang benar-benar mengerti lavender. Bukan sebagai tanaman. Sebagai bahasa. Sebagai perasaan."