Sebelumnya: Panduan Wisata Benua Ke-8: Destinasi Keindahan: Kafe Kalipsho
6. Museum Emosi yang Terlupakan
Sangatlah mungkin bahwa kurangnya catatan sejarah di Museum Emosi yang Terlupakan sudah diatur oleh para pendirinya, sehingga ketika kepengurusan 'galeri memoribilia yang luput dari kenangan' yang berkembang pesat ini akan diwariskan dari satu kurator ke kurator lainnya tanpa meninggalkan catatan sama sekali. Sebuah kunci diletakkan di telapak tangan penjaga baru bersama dengan petunjuk bagaimana membuka dan menutup pintu serta ucapan selamat datang di kamar mandi dan kamar tidur tempat mereka akan tinggal sampai masa pensiun tiba.
Pemegang kunci terakhir yang diketahui berasal dari tahun 1977, ketika seorang tukang penarik gerobak sampah diberi kunci. Dia menambah koleksinya, membersihkan debu di lemari, mengganti bohlam lampu, dan mulai mengenakan biaya masuk yang kecil.
Bahwa kurator dipilih karena ketidakberartiannya merupakan indikasi dari museum itu sendiri, yang dapat dikatakan tidak menyimpan sesuatu yang spektakuler. Di antara koleksi museum, orang dapat menemukan: kartu remi yang kusut, botol pecah, tiket kereta api, stiker yang menyala dalam gelap, kulit telur, cincin yang patah, segenggam tanah, jam weker rusak, karung goni, asbak aluminium, sepatu kets usang, bungkus permen, koran kuning, kuncup tulip layu. Namun, koleksi ini memiliki kemampuan luar biasa untuk mengingatkan kita pada kenangan yang kita pikir telah punah.
Sebuah tutup botol plastik kecil menghadirkan gambaran hari musim dingin yang dingin ketika kami berusia enam tahun. Embun beku di jendela tampak indah di bawah cahaya pagi dan kita memutar mainan itu di kaca jendela berulang kali, sambil memperhatikan jalan untuk menunggu ayah kita kembali. Sebatang lipgloss  mengingatkan kita pada seorang wanita yang pernah kita cintai, yang meletakkan balsem di dekat meja samping tempat tidur kita. Bukan hal yang aneh untuk menemukan pengunjung yang menangis karena pajangan.
Kita melihat barang di depan mereka - mainan boneka yang compang-camping, kaleng rombeng, tisu - dan mengangkat bahu.
Pajangan itu tidak menyimpan hantu kekasih lama, masa kecil, atau persahabatan yang singkat bagi kita. Itu tidak lebih dari salah satu dari banyak barang yang kita lewati dalam perjalanan sehari-hari, yang biasa saja karena tidak penting. Namun, kemudian kita menemukan sepasang tali sepatu dan teringat sepatu kets favorit kita di sekolah dasar, atau melihat buku saku usang yang dipinjamkan kepada kita oleh seorang di perguruan tinggi, dan hati kita pun menjadi tenang sebelum pameran dimulai.
Mereka yang mengunjungi museum sering kali menemukan dunia yang berbeda saat keluar. Halte bus menampilkan sosok seorang wanita atau pria yang pernah kita cium. Daun-daun yang berlarian dihembus angin dan asap kanlpot kendaraan di sepanjang trotoar mengingatkan kita pada saat ditarik ke dalam gerbong oleh saudara perempuan kita di kereta rel listrik pada suatu hari musim hujan. Mungkin kesadaran inilah yang membuat kita mengemas pernak-pernik, cangkir kopi yang tidak terpakai, pensil yang sudah rompal dikunyah ujungnya, dan segepok uang receh yang kehitaman, lalu mengirimkannya ke museum - tempat kurator menghabiskan sebagian besar harinya untuk membongkar kotak dan mencari tempat baru untuk barang-barang terkecil yang kita kirimkan kepadanya. Sedangkan kita, kita semua tertarik kembali ke museum.
Kita berdiri memandangi pajangan baru, menemukan kehidupan kita sendiri seolah-olah untuk pertama kalinya.