Aku tidak tahu kenapa aku selamat, Kimiko. Aku tidak tahu kenapa aku datang kesini, kenapa aku diberikan tangan ayah musuhku untuk dipegang.
Musuhku? Kata yang aneh! Mimpi burukku, lebih tepatnya. Ketakutanku. Hantu yang akan menebasku jika aku tidak menyelesaikan ritual yang kupelajari untuk melindunginya dengan benar. Ritual menunjuk dan meremas, tentu saja menarik pin dan melempar.Â
Mengapa pula kami mengulanginya berkali-kali, kalau itu bukan ritual dan mantra dan jimat bagi kami, praktik keagamaan untuk mengusir setan kami?
Ada yang terluka di sini, di gua kita. Ada tentara dan warga sipil. Ada murid, seperti kamu, yang meninggalkan sekolahnya untuk menjadi perawat.
Sudah muncul di benakku. Aku bisa melihat granat berjatuhan melalui celah batu. Aku sudah bisa melihatnya meluncur ke lantai gua. Aku bisa melihat wajah ketakutanmu, Kimiko, dan mendengar suara orang Amerika berteriak, "Fire in the hooole!"
Aku melihat diriku menunggu, sekali lagi, orang lain untuk melakukan pengorbanan.
Sudah kubilang padamu, Kimiko, cara bertahan dalam perang adalah dengan sejuta tindakan pengecut. Tapi mungkin ada cara lain. Jika sebuah granat jatuh di antara sepuluh orang dan semuanya pengecut, sepuluh orang tersebut akan mati. Namun jika salah satu dari mereka berani, maka sembilan lainnya akan hidup.
Tapi aku sudah bicara terlalu banyak, Kimiko. Aku sudah mengatakan terlalu banyak hal yang tidak masuk akal. Ssst, diam! Ada seseorang di luar gua. Apakah dia akan berani atau pengecut, Kimiko? Akankah dia berhenti untuk melihat apakah kita tentara atau bukan?
Mashamune Hondo pasti sudah memeriksanya. Dia akan melihat sebelum menembak, seperti yang dia lakukan saat kami duduk bersama di lubang kawah. Apakah aku begitu beruntung bisa bertemu dengan jiwa lain yang seberani dia?
Tenanglah, Kimiko. Dengan tangan kosong, sekarang aku pergi mencari tahu.
Cikarang, 10 Maret 2024