Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penyintas

24 Agustus 2025   20:20 Diperbarui: 24 Agustus 2025   16:09 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka jatuh seperti batang gandum dipanen.

Kami mendengar ada warga sipil yang bersembunyi di dalam gua. Kami mendengar di antaranya ada perawat dan ikut terluka bersama mereka. Tapi aku menembakkan senapanku dan melemparkan granatku. Aku tidak pernah bilang tidak dan selalu menurut perintah. Aku tidak pernah menjadi sukarelawan untuk apa pun.

Aku tidak meminta perang ini. Aku tidak meminta untuk berada di sini. Tapi aku ada di sini, dan aku berusaha untuk bertahan hidup.

Bisa jadi itu kamu, Kimiko. Jika keadaannya berbeda, aku bisa saja mengarahkan senjataku padamu. Dalam kegilaan dan ketakutan, aku bisa saja melemparkan granatku ke dalam gua ini.

Apa aku sudah memberitahumu tentang lubang kawahnya, Kimiko? Itu adalah satu lagi dari sejuta tindakan pengecut yang skulakukan. Tapi kali ini pasif, bukan aktif.

Tentara Jepang itu menjatuhkan diri tidak sampai dua metere dariku, mencari perlindungan sama sepertiku.

Pistolku macet, setengah terlepas di tanganku, dan dia terjatuh di dekatnya. Hanya ada aku dan dia, berdua saja di lubang kawah tempat bom meledak beberapa hari sebelumnya.

Aku memandangnya, tapi tidak ada yang bisa kulakukan. Dia menatapku, tapi dia tidak pernah mengangkat senjatanya. Detik demi detik berlalu dan ledakan terdengar di sekeliling kami. Teriakan, jeritan, bunyi lonceng, dan deru peluru. Sungguh kekacauan yang sangat buruk, suara yang sungguh memekakkan rasa.

Tapi tetap saja, detik-detik berlalu. Dua, tiga, empat, lima. Itu adalah pertempuran yang abadi tanpa akhir. Dia bisa saja memotongku menjadi tujuh kali lipat. Aku akan melakukannya, hampir secara refleks, jika pistolku tidak tergeletak di pangkuanku menjadi tiga bagian. Rat-tat-tat-tat-tat! Dan aku bertahan beberapa menit lebih lama, hingga krisis yang menjadikanku pengecut berikutnya.

Namun, dia tidak pernah bergerak. Dia tidak pernah mengangkat senjatanya. Kami hanya duduk saling memandang, saling berhadapan.

Kemudian granat itu dijatuhkan ke dalam lubang kawah--sekarang ada kami berdua, dan satu granat aktif. Aku melihatnya pertama kali, mengamatinya melayang dengan gerakan lambat di udara dan mendarat menimbulkan suara di lumpur, menempel erat tepat di tempat jatuhnya. Sedetik kemudian, dia juga melihatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun