Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Rumah Berbisik: 5. Berkumpul

19 Agustus 2025   18:18 Diperbarui: 19 Agustus 2025   18:03 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya: Rumah Berbisik: 4. Lolongan dan Bayangan

Mereka berjalan menyusuri lorong, mendapati setiap ruangan kosong, hanya dihiasi debu dan sarang laba-laba. Ruangan terakhir sama saja, kecuali lemari yang setengah rusak.

Sakti berbalik. "Wah, mengecewakan. Tidak ada apa-apa di sini. Aku capek. Pulang, yuk."

Ketika dia berbalik, tanpa peringatan apa-apa mendadak suara gemuruh dan bayangan gelap menukik ke arah mereka!

***

Gita menutup mata, mengira itu adalah saat-saat terakhirnya hidup di sunia ketika dia jatuh ke tanah. Kemudian dia mendengar Ratri terkikik dan merasakan sesuatu menjilati wajahnya, mengeluarkan lolongan kecil kegirangan. Ketika membuka mata, Gita melihat Skubi, anjing herder peliharaan Sakti, di atasnya. Anjing itu entah bagaimana mengikuti Sakti dan akhirnya menemukan gadis-gadis itu! Gita menghela napas lega saat ia duduk. "Skubi! Kupikir aku sudah mati!" serunya, sambil menepuk kepala anjing besar itu. Ratri ikut menimpali, "Wah, Skubi, aku senang sekali melihatmu!" katanya, merasakan gelombang kelegaan menerpanya.

Setelah semua tenang, Skubi malah gelisah. Dia jelas ingin anak-anak perempuan itu mengikutinya.

Gita berdiri. "Kurasa dia ingin menuntun kita pulang. Ayo kita ikuti dia," katanya.

Ratri mengangguk, dan mereka mulai mengikuti Skubi melewati semak-semak rimbun.

Beberapa menit kemudian, Skubi berhenti dan duduk. Di depan mereka ada rumah kosong!

***

Di rumah kosong itu, para anak-anak lelaki berjuang melawan suara gemuruh dan bayangan gelap yang melaju kencang ke arah mereka. Ketika mereka menyadari bahwa bayangan dan suara itu berasal dari ratusan kelelawar, keberanian mereka telah sirna, dan kekacauan pun meletus di ruangan itu.

Pandu adalah orang pertama yang mundur, tetapi malah dia menabrak Sakti sampai jatuh. Sakti yang mencoba bangun dengan bersandar pada lemari tua yang rusak, malah secara tidak sengaja mendorongnya hingga terjatuh dengan suara keras, membuat lebih banyak lagi kelelawar terkejut.

Faris yang kebingungan melemparkan batu ke sesuatu yang tak terlihat dan memecahkan kaca jendela terakhir yang masih utuh.

Gilang menari dengan panik, seperti seorang penari kejang profesional, mencoba melepaskan kelelawar dari bajunya. Andaikan ini pertempuran, kelelawar telah menang.

Mereka tiba-tiba mendengar anjing menggonggong dan suara gadis-gadis tertawa di luar.

Sakti duduk bersandar pada lemari yang roboh, bertanya-tanya mana yang lebih buruk: kelelawar atau melihat wajah Gita dengan air mata mengalir di pipinya karena tertawa, bukan karena takut!

Mengintip lewat jendela rumah kosong itu, Gita dan Ratri tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Di dalam, anak-anak laki-laki benar-benar kacau, berteriak dan saling serobot, menari dan melompat liar. Sebuah batu yang dilempar Faris tiba-tiba memecahkan jendela di dekat keduanya.

"Kerja bagus, Sakti!" Gita menggoda, berusaha menahan tawa. "Aku tidak tahu kamu bisa menjatuhkan lemari itu sendiri!"

Ratri ikut tertawa. "Gilang, aku harus belajar tari kejang dari kamu. Kamu tersis penari yang biasa tampil di jalanan!"

Gilang malah tertawa.

Dengan kesal Faris berseru. "Kelelawar itu berbahaya! Mereka bisa jadi vampir!"

Upayanya untuk tampak berani tidak meyakinkan siapa pun. Sambil membersihkan pakaiannya, Sakti mengakui, "Faris, kita mengaku saja kalau kita memang ketakutan. Tidak perlu malu." Dia kemudian menoleh ke Gita, suaranya melunak. "Kenapa kalian berdua di sini?"

Senyum Gita tampaknya mengalihkan perhatiannya.

Merasa sedikit bersalah karena telah mengejek Sakti, Gita menjawab pelan. "Kami tahu kalian merencanakan sesuatu dan kemudian mengikutimu. Lalu kami tersesat, tetapi Skubi menemukan kami dan membawa kami ke sini."

Dia menepuk-nepuk anjing Sakti, mencoba mencairkan suasana.

Berusaha keras untuk mengalihkan matanya dari Gita, Sakti menyarankan, "Kita harus pulang. Tidak aman di sini pada malam hari, dan kurasa kita sudah cukup bersenang-senang."

"Dan kita sudah banyak tertawa!" Gita terkikik ketika mereka semua beranjak keluar. Hanya Skubi yang tertinggal, menggeram pada sesuatu yang tak terlihat.

Gilang menyinari senternya ke sekeliling ruangan.

"Dia menemukan sesuatu. Mari kita periksa lagi."

Senter mereka memindai ruangan, mencoba mengungkap rahasia yang tersembunyi.

.

BERSAMBUNG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun