Adikku meninggalkan pesan: alamat, kunci di bawah keset.Â
"Saya akan bercerita lebih banyak saat Anda tiba," kata Lilis.
Sesuatu dalam suaranya mengisyaratkan dia tidak yakin aku akan datang.
Tapi aku datang.Â
Aku akhirnya sampai di sini, di sebuah pondok sempit yang membuatku yakin adikku akhirnya menyerah pada kegelapan.
Ternyata pondok ini tidak berbicara tentang kegelapan, tapi tentang terang.
Ada pintu berwarna kuning lemon, teralis putih yang baru dicat, kursi goyang, dan taman yang cerah dengan tanaman tomat dan daun selada.
Damai. bahagia.Â
Adikku yang kukenal bukanlah keduanya.
Di rumah diterangi matahari, seperti sarang yang hangat dan nyaman. Kulkas penuh dengan makanan, rak lemari dapur berisi peralatan makan yang bersih. Tidak banyak. Jumlahnya cukup.
Aku melintasi dapur kecil dan membuka pintu, dan bau nilam membuatku berlutut. Itu adalah aroma adikku, dan itu membuka pintu tersendiri bagi kenangan yang mengalir deras, seolah-olah telah mengetuk selama ini, menungguku untuk mengenalinya lagi.