Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 140: Pintu Masuk dan Tangga Lapuk

7 April 2024   08:46 Diperbarui: 7 April 2024   08:49 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku berdiri di depan kue cincin sambil mengerutkan kening saat melihat dua kawah kecil di atasnya. Apa yang kulewatkan? Tidak cukup mentega di dasar loyang?

Marlena menggedor pintu dapur, pengki dikepit di bawah ketiaknya. "Masih mengerjakan kue itu? Ya ampun, Nak, anggota dewan akan tiba di sini satu jam lagi."

Aku menyipitkan mata sialau terkena sinar matahari yang menyorot dari jendela. "Menurutmu, Bi,  aku tidak mengetahuinya?"

Marlena bolak balik membawa pengki ke dalam lemari sapu dan keluar tanpa henti. Dia menggelengkan kepalanya, dan rambut ikal pendek yang disemprot hairspray lekat menjadi satu kesatuan.

"Aku akan menyiapkan gaunmu. Tuhan tahu kamu tidak akan membiarkan aku menyentuh kue itu."


Aku membekukan kuenya dan menghiasinya dengan strawberi yang mengkilap, menata buah yang indah seperti seorang seniman ulung.

Syukurlah para anggota dewan hanya melakukan kunjungan sore hari. Butuh waktu berhari-hari untuk memasak agar bisa membuat kue favorit yang bisa aku tinggalkan, dan menunda pertemuan tentu saja tidak akan membuat anggota dewan menyukai perjuanganku.

Sambil melepaskan celemek, aku membawa kue itu ke ruang tamu yang sudah ditata rapi. Berkacak pinggang dan mengamati rumah tercintaku, lewat pintu di sebelah kiri, aku bisa melihat tangga besar yang sudah lapuk. Di sebelah kanan, langit-langit yang melorot di ruang tamu menunjukkan adanya atap yang bocor.

Bagaimana segalanya bisa menjadi serba salah dalam sepuluh tahun yang singkat? Kalau saja aku dulu tidak bersekolah kuliner...

Tidak ada penyesalan. Aku harus menghadapi apa yang ada di depanku sekarang.

Baru saja mengenakan gaun lavender selutut ketika bel pintu bergema di seluruh rumah. Sampai di pintu depan, aku melihat sosok tubuh tinggi berpakaian gelap melalui jendela samping. Berhenti di depan tangga besar yang sudah lapuk, aku membayangkan Mama menyapu ke bawah untuk menyambut tamunya. Suatu hari nanti, aku akan tampil megah seperti yang dilakukan Mama.

Menegakkan bahu, aku memasang senyum penuh percaya diri dan membuka pintu.

Senyumku membeku saat tatapanku mendongak ke atas. Mata cokelat yang menari-nari, rambut hitam agak berrantakan tapi macho di atas dahi yang halus dan kecokelatan. Sejak kapan ada anggota dewan seganteng ini?

Aku memaksa mulutku terbuka. "Silakan Masuk, Pak..."

Kamu menyeringai, menundukkan kepala. "Himawal. Himawal Linukh."

Aku melangkah mundur dan membiarkannya masuk, masih memegang kenop pintu untuk menjaga agar tubuhku tak limbung oleh lutut gemetar.

"Masuklah ke ruang tamu, Pak Himawal."

"Panggil aku Him."

Jantungku tersandung.

Kamu berhenti di depan meja kue. "Kue yang enak sekali, Nona Ghea. Pasti benar apa yang mereka katakan tentang masakanmu."

Kamu mengambil segelas es teh dan menyesapnya.

Aku uakin pipiku meronasaat menunjuk ke meja dan kursi di belakangmu. "Terima kasih ... Him. Silahkan duduk. Kita akan makan kue segera setelah yang lain tiba."

Kamu duduk di kursi di sisi meja.

"Ah, ya, yang lainnya." Dia berdehem. "Apakah Anda sudah merasa nyaman, Nona Ghea?"

Aku mengerutkan kening. Terdengar aneh apa yang kamu katakan, karena kamu adalah bagian dari dewan yang berencana untuk menggusur rumahku. Bel pintu berbunyi lagi, mencegahku menjawab.

Tiga pria berjas menyambutku dengan kasar ketika aku membuka pintu. Anggota dewan yang terhormat: Pak Kaesan, Pak Girang, dan Bu Mayang.

Aku mengajak mereka ke ruang tamu, mengabaikan kerutan mereka saat menatap tangga yang lapuk. Kamu sedang berdiri ketika mereka masuk, menyeruput gelasnya. Kaesan, dengan bibir sempitnya mengerucut, mengabaikan tawaran es teh dan kue dariku dan memelototi kamu saat dia berjalan menuju kursi paling jauh.

Kamu memecah kesunyian setelah menggigit kue pertamamu. "Rasanya luar biasa, Nona Ghea. Sebagus kelihatannya."

Aku tersenyum lega.

"Nona Ghea, kami di sini untuk mendiskusikan rencana dewan untuk mengambil alih dan menghancurkan ... bangunan yang sudah tidak aman ini." Pak Kaesan menunjuk ke arah tangga besar. "Sebagai pewaris properti ini, Anda mempunyai hak untuk menyatakan keberatan Anda terhadap rencana tersebut. Namun saya memahami bahwa Anda tidak memiliki dana untuk memperbaiki rumah dengan benar dan meminta pemerintah kota untuk menyediakannya?"

Mulutku terasa kering. Yang dikatakannya jauh lebih masuk akal di kepalaku. Aku tidak punya cukup uang untuk memperbaiki rumah yang indah tapi reyot ini dan sangat berharap pemerintah kota akan melestarikan sejarahnya.

Kamu menelan gigitan kedua. "Teman-teman, kamu harus mencoba kuenya sebelum berdiskusi tentang penghancuran apa pun. Itu di---"

"Himawal," gonggong Pak Kaesan. "Sebenarnya apa yang kamu lakukan di sini?"

Garpumu berhenti dan seringai nakal terlihat di wajahmu.

Aku kebingungan berpindah pandangan antara kalian berdua. Bukankah kamu salah satu anggota dewan?

"Aku di sini, Kaesan, karena aku tertarik dengan properti ini. Apalagi kalau di dalamnya ada pembuat kue yang bisa membuat kue seenak ini."

Kamu berbalik ke arahku. 

"Saya adalah ketua ... perkumpulan sejarah swasta, dan ketika saya mendengar tentang rencana dewan kota, saya buru-buru ke sini. Beberapa pebisnis lokal sering menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk pelestarian sejarah, dan kami menawarkan Anda dana yang diperlukan untuk mengembalikan rumah ini ke keindahan aslinya."

Aku membuka mulut. "Tapi, Pak Himawal ..."

Senyummu kembali. "Tentu saja, Anda bisa membalas saya dengan lebih banyak kue mahakarya."

Pak Kaesan berdiri dengan kaku. 

"Apa yang Anda lakukan dengan uang Anda adalah urusan Anda, Pak Himawal, tapi saya akan berterima kasih kalau Anda tidak ikut campur dalam urusan kami di masa depan."

Yang lain mengikuti Pak Kaesan saat dia berjalan ke pintu dan keluar sebelum aku sempat bangkit dari kursiku.

Cahaya matahari membanjiri ruang tamu saat aku membayangkan ruangan itu telah direnovasi. Tangga besarnya utuh kokoh dan dipoles cantik.

Aku menggigit sepotong kue cincin dan membiarkannya meleleh di mulutku.

"Aku sudah bilang." Kamu mengedipkan mata.

"Lain kali, aku akan membuatkanmu kue karamel."

Cikarang, 7 April 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun