Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Legenda Sang Perusak (Bab 32)

9 Oktober 2022   14:30 Diperbarui: 9 Oktober 2022   14:34 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Mercedes Benz biru laut berhasil pulang dengan selamat, dan itu adalah hal yang baik untuk Awang. Jika dia dan Kuntum akan berbicara, suasana hatinya yang buruk akan mengubah percakapan mereka ke pertengkaran lebih cepat dari apa pun. Mereka membutuhkan pembicaraan ini, atau dia tahu mereka berada dalam masa-masa yang lebih sulit daripada yang pernah mereka alami. Perceraian adalah kata yang selalu membuatnya mual.

Dia tak ingin menambah angka statistik kegagalan rumah tangga, apa pun situasinya. Kecuali tentu saja jika Kuntum telah benar-benar berselingkuh dengan Gumarang Koto dan itu akan menjadi cerita lain. Jika itu pernah terjadi, Awang tahu dia akan berakhir di penjara dengan tuduhan pembunuhan ganda.

Mencintai Kuntum adalah satu hal, tetapi cinta harus jalan dua arah, saling memberi dan menerima, atau tidak sama sekali. Kuntum ak lagi memeluknya seperti dulu, dan jika dia benar-benar telah menodai cinta mereka; Awang tidak peduli dengan apa yang terjadi padanya. Kemarahan yang tiba-tiba muncul bersamaan dengan aroma kuah satai rusa basi, tetapi bau itu memudar dengan cepat ketika dia bertanya pada Kuntum, "Apakah tidak sebaiknya kita makan dulu sebelum mulai bicara?"

Mereka berjalan ke pintu belakang dan masuk ke dalam rumah, Kuntum menjawab, "Kurasa lebih baik. Aku tadi memasak gulai kuning kepala ikan kakap, dan kita bisa merebus kecipir jika kamu mau."

Perut Awang keroncongan membayangkan gulai kuning kepala ikan kakap, dan aroma kuah satai rusa basi memudar semakin jauh.

"Kedengarannya bagus. Aku sudah mengangankan gulai kuning kepala kakap sepanjang minggu ini."

"Aku tahu. Kamu sudah memberitahuku lebih dari sepuluh kali. Aku berharap kamu lebih menyukai hal-hal yang aku lakukan sehingga itu akan lebih mudah bagiku."

"Kamu tahu bahwa kamu tidak perlu menyiapkan sesuatu yang istimewa untukku, aku akan memakan apa pun yang kamu masak."

"Aku bukan mengeluh, sayang. Aku hanya berpikir bahwa kamu pasti ingin makan makanan kesukaanmu sehingga suasana hatimu lebih baik untuk berbicara. Itu sebabnya aku membuat gulai kuning kepala ikan kakap, dan aku membuatnya cukupmu. Sebagian aku simpan dalam freezer. Kamu boleh makan sesukamu."

"Terima kasih, Sayang, tapi kamu tidak perlu melakukan itu."

Tak satu pun dari mereka mengatakan sepatah kata saat mereka duduk untuk makan. Keduanya mencoba mencari cara untuk mengatakan apa yang perlu mereka katakan dan tidak ada yang siap untuk membuka diri.

Mereka makan selama mungkin, mengulur-ulur waktu dan kemudian, setelah satu jam, setelah membereskan meja keduanya duduk di ruang tamu.

"Kamu tahu, Kuntum. Kurasa kita benar-benar membutuhkan pembicaraan ini. Kita mungkin mengatakan hal-hal yang membuat kesal satu sama lain, tapi kita harus menerimanya dan menyadari bahwa itu yang terbaik."

"Aku senang kamu melihatnya seperti itu juga, Awang," kata Kuntum pelan.

"Tidak, aku serius, Kuntum. Aku belum pernah memikirkan hal ini sebelumnya, tetapi setiap kali kamu mengatakan sesuatu yang tidak aku sukai, aku bangkit dan berjalan menjauh darinya. Aku bahkan tidak berhenti untuk berpikir tentang apa yang kamu katakan, dan sering kali kamu mungkin benar."

Merasa bahwa saatnya dia bicara, Kuntum berkata dengan cepat, "Aku tak pernah mengerti mengapa setiap kali kamu pergi dengan mobilmu. Tidakkah kamu menyadari bahwa mengemudi ketika marah itu berbahaya? Dan bukan hanya untukmu, tetapi juga untuk orang lain di jalan."

"Ya, aku tahu," Awang mengaku. "Tetapi ada sesuatu dalam diriku yang membuatku melakukannya. Sejak pertama kali mendapatkan Izin Mengendara, aku memacu mobilku untuk menenangkan diri. Sulit untuk mengubah kebiasaan lama."

Menatap mata suaminya, Kuntum berkata, "Masalahnya, Awang, kamu harus berubah jika ingin tetap hidup. Aku ingin kamu berhenti melakukan itu karena suatu saat, sesuatu yang buruk akan terjadi padamu. Hidup kita akan hancur, Awang. Kamu harus memikirkan masa depan."

Memikirkan rangkaian serangan kejang yang baru saja dialaminya, keping logam di kepalanya, dan fakta bahwa dia hampir mati, rasa bersalah menghunjam Awang.

"Aku benar-benar minta maaf tentang itu, Kuntum. Aku akan mencoba untuk tidak melakukannya lagi. Kurasa aku tidak terlalu memikirkannya sebelumnya, dan aku tidak menyadari bahwa itu sangat mengganggumu."

Saat percakapan berhenti sejenak, dan tepat saat dia akan membicarakan tentang kejang-kejangnya yang kambuh, mendaak pintu belakang digedor kuat-kuat, seakan yang datang dikejar hantu. Suaranya bergema di seluruh rumah.

Kuntum melompat dan berlari ke dapur.

"Tunggu aku!" seru Awang sambil mengikutinya ke pintu. "Mungkin seseorang membutuhkan bantuanku."

Kuntum menjawab, "Jika mereka membutuhkan dokter, Awang, mereka dapat menunggu sampai kamu membuka pintu. Kamu hanya beberapa langkah di belakangku."

Kuntum membuka pintu dan melihat Taruna Asikin berdiri dengan bercucuran air mata.

Kuntum bru saja hendak bertanya, 'Apa yang kamu inginkan.' Tapi anak itu menerobos di sampingnya sambil mengoceh tentang Bagas dan Kadir, dan tidak bisa diam hingga Awang mendorongnya ke kursi dan menyuruhnya mengatur napas.

"Tenanglah, Nak. Ada apa? Aku tidak bisa memahamimu."

"Bagas ... Bagas dan ... dan Kadir di... dimakan... tengkorak. Mereka belum kembali dari tempat itu... heh...."

Saat napasnya melambat, dia menjelaskan apa yang baru saja terjadi sampai akhirnya Awang mengerti.

Bagas dan Kadir pergi dari hutan menuju rumah duka, dan belum kembali.

Sudah lama sekali, dan mereka belum kembali!

***

Saat ibu Bagas melihat ke luar jendela dapurnya, dia melihat sosok di simpang. Dia belum pernah melihatnya di sana sebelumnya, Dia merasa ada sesuatu yang salah. Dia melirik piringnya dan ketika dia mengangkat kepalanya, sosok gelap itu sudah pergi, membuatnya merasa lebih baik mengetahui bahwa sosok itu telah lenyap.

Dia tidak tahu kenapa, tapi itu membuatnya merasa jauh lebih baik....

BERSAMBUNG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun