Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Legenda Sang Perusak (Bab 32)

9 Oktober 2022   14:30 Diperbarui: 9 Oktober 2022   14:34 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Tak satu pun dari mereka mengatakan sepatah kata saat mereka duduk untuk makan. Keduanya mencoba mencari cara untuk mengatakan apa yang perlu mereka katakan dan tidak ada yang siap untuk membuka diri.

Mereka makan selama mungkin, mengulur-ulur waktu dan kemudian, setelah satu jam, setelah membereskan meja keduanya duduk di ruang tamu.

"Kamu tahu, Kuntum. Kurasa kita benar-benar membutuhkan pembicaraan ini. Kita mungkin mengatakan hal-hal yang membuat kesal satu sama lain, tapi kita harus menerimanya dan menyadari bahwa itu yang terbaik."

"Aku senang kamu melihatnya seperti itu juga, Awang," kata Kuntum pelan.

"Tidak, aku serius, Kuntum. Aku belum pernah memikirkan hal ini sebelumnya, tetapi setiap kali kamu mengatakan sesuatu yang tidak aku sukai, aku bangkit dan berjalan menjauh darinya. Aku bahkan tidak berhenti untuk berpikir tentang apa yang kamu katakan, dan sering kali kamu mungkin benar."

Merasa bahwa saatnya dia bicara, Kuntum berkata dengan cepat, "Aku tak pernah mengerti mengapa setiap kali kamu pergi dengan mobilmu. Tidakkah kamu menyadari bahwa mengemudi ketika marah itu berbahaya? Dan bukan hanya untukmu, tetapi juga untuk orang lain di jalan."

"Ya, aku tahu," Awang mengaku. "Tetapi ada sesuatu dalam diriku yang membuatku melakukannya. Sejak pertama kali mendapatkan Izin Mengendara, aku memacu mobilku untuk menenangkan diri. Sulit untuk mengubah kebiasaan lama."

Menatap mata suaminya, Kuntum berkata, "Masalahnya, Awang, kamu harus berubah jika ingin tetap hidup. Aku ingin kamu berhenti melakukan itu karena suatu saat, sesuatu yang buruk akan terjadi padamu. Hidup kita akan hancur, Awang. Kamu harus memikirkan masa depan."

Memikirkan rangkaian serangan kejang yang baru saja dialaminya, keping logam di kepalanya, dan fakta bahwa dia hampir mati, rasa bersalah menghunjam Awang.

"Aku benar-benar minta maaf tentang itu, Kuntum. Aku akan mencoba untuk tidak melakukannya lagi. Kurasa aku tidak terlalu memikirkannya sebelumnya, dan aku tidak menyadari bahwa itu sangat mengganggumu."

Saat percakapan berhenti sejenak, dan tepat saat dia akan membicarakan tentang kejang-kejangnya yang kambuh, mendaak pintu belakang digedor kuat-kuat, seakan yang datang dikejar hantu. Suaranya bergema di seluruh rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun