Rano mengepalkan tinjunya dan bergeser ke kanan sambil mengertakkan gigi saking marahnya. Ai terduduk di aspal dengan telapak tangan memegang dagu. Darah masih meleleh dari mulutnya.
"Lepasin gue! Jangan ikut campur urusan gue sama bocah ini," teriak Lola sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria itu.
"Diam!" kata lelaki yang memegangnya dan memelintir lengannya ke belakang punggung Lola dengan cepat.
"Kau selalu menjadi pengacau di wilayah ini. Suatu hari nanti, akan ada orang yang memasukkan kau ke rumah sakit jiwa supaya otak kau bisa waras."
Dia melepaskan pitingannya setelah beberapa menit, dan Lola melotot menatapnya.
"Gue bakalan bunuh lu," katanya menuding Rano dan terus menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor.
"Kau kira kau bisa menang lawan dia? Kalau begitu aku mau lihat kalian baku hamtan sekarang. Aku jadi wasitnya," kata pria itu sambil menunjuk ke arah Rano.
Suti berdiri di samping Rano dengan kaki gemetar. Sebenarnya dia mempunyai pikiran untuk lari dari situ, tetapi tidak bisa karena Febi berdiri di sisi lain menatap mereka.
Febi akan menangkap dan memukuliku, pikirnya.
Ai akhirnya berdiri, tetapi darah terus menetes dari bibirnya seperti keran air yang tak tertutup sepenuhnya. Lelaki itu melihatnya dengan mimik prihatin.
"Kalian lihat apa jadinya kalau terus berkelahi?"