Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan Hujan

4 September 2022   13:13 Diperbarui: 4 September 2022   13:27 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika saya dan adik perempuan saya masih kecil, hujan masih kerap turun di kampung halaman kami.

Di gudang kecil sebuah rumah di tepi jalan bebas hambatan itu, kami memberi makan rumput-rumputan kepada kambing-kambing petani melalui pagar berduri.

Saya ingat betul bau daging kambing dipanggang, bawang digoreng, dan ruas jahe yang baru dipotong.

Saya ingat betul suara-suara itu: sandal ibu kami meluncur di lantai kayu, bisikan pohon eukaliptus ditiup angin, pintu kasa yang digeser, panggilan masuk: Butet!

Saat itu kami tahu kapan hujan akan datang. Kami bisa mencium baunya di udara. Kadal-kadal bergegas mencari perlindungan di bawah semak-semak putri malu yang merayap. Pawai semut berbaris abadi yang dengan enggan dijadwalkan ulang. Bumi menunggu dalam diam, seperti penonton menahan napas sebelum pesulap menjatuhkan tongkat.

Dan kemudian, hujan turun. Beberapa tetes pertama selalu sedikit, tapi sangat berani.

Tak lama kemudian, teras kami kebanjiran. Itu selalu terjadi selama badai. Ketika orang tua kami sedang bekerja, saya dan adik perempuan saya dengan segera  mengenakan jas hujan dan sepatu karet kami. Dengan patuh, kami membantu mengangkut seember air dari rumah. Tidak berarti banyak, tetapi begitulah cara kami membantu mempertahankan rumah kami saat itu.

Tuhan sedang pipis, kata adikku  saya saat kami membawa ember besar berisi air hujan ke peternakan kambing terdekat. Karena berat ember-ember yang sarat itu, pegangan besinya yang tipis menyayat ke jari-jari kami, dan rasa sakit kami hanya dilumpuhkan oleh hawa dingin.

Dengan kikuk dan sangat lega, kami membuang air ke tempat terbuka berlumpur lembut di dekat kandang kambing, dan menyaksikannya merembes perlahan ke dalam lumpur dan rerumputan.

Semua kambing telah digiring ke kandang mereka yang kering. Bulu kambing basah berbau tidak enak. Dan kemudian mendadak hening di tengah hujan, yang terdengar hanya napas kami yang terengah-engah.

Ini adalah momen penutupan singkat yang kami nikmati, sebelum kembali melakukannya lagi.

Bukan kehidupan mewah di antara para pencuri jalan raya. Truk dan mobil bak yang tak ada habisnya, dan adas liar yang sulit diatur. Tapi keluarga kami berdiri tegak dan membuat kehidupan yang layak, sedikit demi sedikit.

Ini adalah yang saya dan saudara perempuan saya pelajari sebagai anak-anak. Tanah ini, saya ingat.

Pada saat saya berusia delapan belas tahun, saya tahu pergantian musim dengan kulit dan tulang saya. Saya merasakan iramanya di telapak kaki.

Di musim hujan yang basah, hijau yang beramai-ramai menghiasi perbukitan dengan indah. Di musim kemarau, matahari memancarkan sinar yang hangat, mancari bayangan dari pepohonan. Dan selalu, saya menyambut datangnya musim liburan akhir tahun, ketika lebah yang lelah tidur di kelopak bunga yang tenang, dan malam yang dingin memadatkan embun ke sayap mereka yang berpola.

Beberapa minggu sebelum saya meninggalkan rumah untuk pertama kalinya, musim panas seharusnya tiba. Tapi masih belum hangat matahari, tidak ada istirahat bagi lebah yang kelelahan. Hari-hari berkobar tanpa henti ke hari berikutnya. Tahun itu, sepertinya kondektur alam raya lupa menggerakkan tongkat persneling ke gigi berikutnya.

Gunung mulai terbakar. Semua rerumputan liar itu, yang sudah lama ditinggalkan air, terbakar dengan cepat. Di luar jendela kamar tidur saya, saya bisa melihat apinya menyebar seperti wabah cacar, berlari menuruni lereng gunung dengan rakus melahap apapun yang menghadang.

Asap mengepulkan jelaga ke dedaunan pohon, kap mobil, dan atap rumah. Hidup berhenti sejenak, tersedak di bawah jalur kematian abu-abu-putih. Irama musim nyaris tak terdengar.

Beberapa hari kemudian, saya naik pesawat, dan negara menyatakan bahwa secara resmi tanah kami dalam keadaan kekeringan yang ekstrem.

Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, sungai-sungai abadi mengering. Mata air berhenti mengalir dan orang yang lewat meminta kembalian dan harapan mereka.

Kolam dikuras, kakus tidak disiram, halaman rumput berubah menjadi tanah cokelat retak-retak.

Hujan terkutuk tidak pernah turun selama bertahun-tahun.

***

Ketika saya mendengar tentang api di Nirwana bertahun-tahun kemudian, saya pikir itu lucu bahwa sebuah kota dinamai Surga. Setelah saya membacanya di berita, saya menelepon adik perempuan saya, yang tinggal bersama orang tua saya di Bukit Barisan.

Bagaimana keadaannya?

Buruk, katanya. Di sini berasap. Dan dingin.

Dingin? Saya mencoba membayangkan kebakaran hutan di puncak musim hujan.

Cukup dingin untuk teh melati, jawabnya.

Saya memikirkan kembali irama musim.

Saya teringat kenikmatan yang mengiringi pergantian cuaca sepanjang tahun. Suara saya tersedak karena sebuah bisikan: kuharap aku bisa pulang.

Tidak akan sama lagi.

Saya membayangkan adik saya mengerutkan kening. Sayangnya hujan saja tak cukup.

Saya ingat rasa bangga dan kewajiban yang kami ambil dalam melindungi rumah kami dengan menampung air hujan yang deras. Semua ember berisi air bercampur sampah daun yang keruh. Decak sepatu karet. Butir hujan terhempas di punggung kami. Semuanya tampak seperti mimpi, kenangan yang telah lama terlupakan dari beberapa perang besar yang terjadi dan dimenangkan.

Melalui telepon, suara kami cukup untuk mencapai sisi lain, hanya saja tidak cukup untuk saling merangkul.

Bandung, 4 September 2022

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun