Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan Hujan

4 September 2022   13:13 Diperbarui: 4 September 2022   13:27 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah momen penutupan singkat yang kami nikmati, sebelum kembali melakukannya lagi.

Bukan kehidupan mewah di antara para pencuri jalan raya. Truk dan mobil bak yang tak ada habisnya, dan adas liar yang sulit diatur. Tapi keluarga kami berdiri tegak dan membuat kehidupan yang layak, sedikit demi sedikit.

Ini adalah yang saya dan saudara perempuan saya pelajari sebagai anak-anak. Tanah ini, saya ingat.

Pada saat saya berusia delapan belas tahun, saya tahu pergantian musim dengan kulit dan tulang saya. Saya merasakan iramanya di telapak kaki.

Di musim hujan yang basah, hijau yang beramai-ramai menghiasi perbukitan dengan indah. Di musim kemarau, matahari memancarkan sinar yang hangat, mancari bayangan dari pepohonan. Dan selalu, saya menyambut datangnya musim liburan akhir tahun, ketika lebah yang lelah tidur di kelopak bunga yang tenang, dan malam yang dingin memadatkan embun ke sayap mereka yang berpola.

Beberapa minggu sebelum saya meninggalkan rumah untuk pertama kalinya, musim panas seharusnya tiba. Tapi masih belum hangat matahari, tidak ada istirahat bagi lebah yang kelelahan. Hari-hari berkobar tanpa henti ke hari berikutnya. Tahun itu, sepertinya kondektur alam raya lupa menggerakkan tongkat persneling ke gigi berikutnya.

Gunung mulai terbakar. Semua rerumputan liar itu, yang sudah lama ditinggalkan air, terbakar dengan cepat. Di luar jendela kamar tidur saya, saya bisa melihat apinya menyebar seperti wabah cacar, berlari menuruni lereng gunung dengan rakus melahap apapun yang menghadang.

Asap mengepulkan jelaga ke dedaunan pohon, kap mobil, dan atap rumah. Hidup berhenti sejenak, tersedak di bawah jalur kematian abu-abu-putih. Irama musim nyaris tak terdengar.

Beberapa hari kemudian, saya naik pesawat, dan negara menyatakan bahwa secara resmi tanah kami dalam keadaan kekeringan yang ekstrem.

Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, sungai-sungai abadi mengering. Mata air berhenti mengalir dan orang yang lewat meminta kembalian dan harapan mereka.

Kolam dikuras, kakus tidak disiram, halaman rumput berubah menjadi tanah cokelat retak-retak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun