Sarkowi merunduk rendah di balik semak-semak yang melapisi jalan masuk, menunggu beberapa menit, lalu dengan cepat berusaha keluar. Dia tidak akan membiarkan Neneng mengidentifikasi dirinya di kantor polisi lagi.
Dia merunduk lagi di belakang semak-semak, dan ketika keadaan sudah aman dengan cepat menjejak ke jalan yang kosong. Dia memperlambat langkahnya, memperlambat napasnya, merosotkan bahunya, dan menundukkan kepalanya serendah mungkin, berusaha untuk tidak diperhatikan oleh penderita insomnia yang kebetulan bangun pada malam seperti ini.
Begitu dia mendengar mobil mendekat di belakangnya, Sarkowi menutup matanya dan mengatupkan giginya. Ketika dia membukanya kembali, Sarkowi melihat bayangannya ditampilkan di sisi gudang yang bobrok, digarisbawahi oleh lampu merah dan biru terang. Dia dengan cepat mencari di otaknya untuk mencari alasan yang bisa diterima untuk jalan-jalannya di malam hari seperti ini.
Neneng mengulurkan tangan untuk membelai dagu Wowoy. Kucing itu mendengkur kesenangan dan berguling telentang saat cahaya lampu warna-warni melintas di kejauhan. Neneng membuka tirai jendela dan mengintip keluar. Dudung, polisi pemula yang berpatroli malam ini, sedang berbicara dengan seorang pria yang tidak mencolok yang kepalanya tertunduk.
"Ada apa, ya?" Dia bertanya pada kucingnya, menggelengkan kepalanya dengan cemas. "Mungkin orang mabuk," katanya lagi.
Dia menduga, dengan kondisi ekonomi seperti ini, penjualan minuman keras adalah satu-satunya hal yang naik. Baik untuk kedai minum lokal, tetapi buruk untuk moral umum.
Ya, pasti itu, pikirnya ketika dia melihat Dudung menggeledahnya.
Bergeser kembali ke bawah selimut, Neneng melanjutkan menggaruk kucingnya. "Aku akan meminta cucu Bu Barkah untuk membantuku memeriksa lampu sorot itu." Dia mengatakan untuk mengingatkan dirinya sendiri.Â
Wowoy menguap sebagai jawaban tanpa suara.
Neneg menghela napas. "Ya, kamu benar. Waktunya tidur."
Neneng melihat jam untuk terakhir kalinya. 3:33.