Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ramadan di Desa Ujung Bukit

6 April 2022   12:00 Diperbarui: 6 April 2022   12:02 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desa kecil itu telah terbiasa menjadi tuan rumah penghafal Al-Qur'an dari ibu kota kabupaten di bulan Ramadan. Resitalnya yang merdu memeriahkan malam dan membuat penduduk desa bangga kepada penduduk desa-desa sekitar.

Sudah menjadi kebiasaan selama ini bagi Sayyid untuk menutupi biaya para hafiz dan biaya penginapannya. Namun selama dua tahun terakhir, dia tidak lagi memperpanjang undangan, sebagai protes atas penyitaan lima hektar tanah kebunnya oleh Pengadilan.

Tahun lalu, penduduk desa mengadakan rapat darurat semu untuk membahas masalah hafiz dari ibu kota.

“Desa kita tidak memiliki apa-apa, kecuali penampilan hafiz di bulan Ramadan. Orang-orang dari desa-desa di sekitar berbondong-bondong datang ke sini untuk mendengarkan Ustaz Abdul Basyar. Tahun ini, kepala kita akan tertunduk karena malu. Kita tidak lagi memiliki semangat Ramadan!” kata Hamdan berapi-api.

Mualim yang menjadi juru kunci makam desa berkata, “Kita bisa menonton dari televisi tahun ini…”

“Televisi! Isinya iklan dan artis asal cuap tentang puasa sambil joget-joget!” Awal si tukang cukur berseru.

“Iya, nonton televisi malah bisa batal pahala dan nambah dosa,” sahut Hamdan.

Fajri mengusulkan, “Ayo kita bicara dengan Sayyid. Mungkin kita bisa mengubah pikirannya dan meyakinkannya untuk membawa Ustaz Abdul Basyar.”

“Pemerintah merampas paksa tanahnya, jadi seharusnya pemerintah yang menghadirkan Ustaz!” kata Zuhri.

Mualim mendelik. “Apa kau pikir pemerintah mengambil tanahnya untuk dijual lagi? Tanah itu dibagi kepada para penggarap. Kasih ide yang lebih baik, Zuhri!”

Kemudian Ustaz Mukhsin, imam masjid, berbicara.

“Hanya ada satu cara untuk mengundah Ustaz Abdul Basyar. Kami patungan sesuai dengan kemampuan dan keikhlasan masing-masing. Seperti yang dikatakan pepatah, "Tidak ada yang bisa menggaruk gatal selain dengan kuku sendiri."

“Maaf, Ustaz. Bagaimana kita tahu berapa biaya yang dibutuhkan untuk mendatangkan beliau dan para hafiz?” tanya Fajri.

Mualim menjawab, “Kurang lebih sepuluh juta, belum termasuk takjil, iftar, dan sahur. Juga untuk sewa panggung dan tenda penonton.”

Awal tukang cukur yang pernah menjadi juara Olimpiade Matematika di provinsi menghitung cepat. “Totalnya kurang lebih sembilan juta. Aku akan menyumbang lima ratus ribu dan tiga kardus minuman mineral.”

Fajri berkata, “Aku punya tabungan sejuta yang kurencanakan untuk mahar Fatimah. Kusumbangkan untuk mengundang Ustaz Abdul Basyar. Jodoh takkan lari ke mana. Aku tidak ingin kita kehilangan muka dan mendengar mereka mengatakan Desa Ujung Bukit tidak mendapat berkah cahaya Ramadan!”

Penduduk desa menyumbang semampu mereka dan akhirnya terkumpul sebelas juta.

Maka Ustaz Abdul Basyar datang dan membuat malam Ramadan menjadi hidup, mengangkat nama Desa Ujung Bukit di semua kota dan desa di sekitarnya.

Kerumunan membanjiri setiap hari, ingin mendengarkan khotbah Ustaz dan lantunan merdu para hafiz dari ibu kota kabupaten.

Penduduk desa menyambut mereka, merasa lebih percaya diri dari sebelumnya. Mereka tidak lagi tergantung pada Sayyid, tetapi menjadi penguasa desa mereka sendiri. Mereka telah membayar biaya untuk mendatangkan Ustaz dan para hafiz dari kantong mereka sendiri!

Itu tahun lalu.

***

Tahun ini, rapat kecil kembali digelar untuk memutuskan masalah mengundang Ustaz Abdul Basyar.

“Tahun ini, hidupku ada di tangan Tuhan. Aku bahkan tidak berhasil menabung sama sekali,” ucap Fajri lesu.

Awal berkata, “Sebenarnya, kawan-kawan, aku pun tak punya apa-apa lagi untuk diberikan. Beras di rumah hampir tidak cukup untuk makan anak-anak.”

Hamdan menambahkan, “Tidak ada yang bisa dilakukan selain menjual ternak. Aku akan menjual kambingku.”

Mualim, juru kunci makam, berkata, “Seperti kata pepatah, ‘Kemiskinan dan kesombongan...’ dan seterusnya. Bukankah aku pernah bilang nonton saja acara televisi? Demi Tuhan, aku tak akan lagi menyumbang sepeser pun. Kalian semua merasakan bahwa ini adalah tahun yang buruk. Tuhan memperpanjang umur kita semua, untuk apa? Orang-orang menolak untuk mati!”

Zuhri membalas, “Jangan menggoda takdir!”

“Jadi Ramadan tahun ini akan berlalu dengan diam-diam? Selama dua puluh satu tahun, ini belum pernah terjadi. Kita harus membuat rencana!” kata Ustaz Mukhsin.

Fajri menyahut, “Bahkan desa Kaki Lembah mengadakan malam bersama Ustaz Akhdiyat Tamim tahun ini, hanya untuk mengejek kita.”

“Akhdiyat Tamim itu siapa? Dia bukan lawannya Ustaz Abdul Basyar!”

Setelah berdeham, Ustaz Mukhsin berkata, “Wallahi. Saya punya pemikiran. Bagaimana menurutmu jika kita membuat kesepakatan dengan Kaki Lembah dan menggabungkan apa yang kita punya? Kita akan mengundang Ustaz Abdul Basyar bersama-sama!”

“Ustaz bercanda? Di mana beliau akan menghabiskan malam, dengan kita atau dengan mereka? Ruwet ini!” sergah Zuhri.

Ustaz Mukhsin menjawab, “Itu bisa diselesaikansecara musyawarah. Beliau akan bergantian malam di antara kita dan Kaki Lembah.”

“Bagaimana dengan Nuzulul Qur'an dan Laylatul Qadar? Kita atau mereka? Masalah besar, kan?” tanya Fajri.

Tak sabar, Ustaz Mukhsin membentak, “Ayolah! Jangan memperumit masalah! Dengan kita atau dengan mereka, semuanya sama. Bukankah kita semua Muslim dan beriman? Malam akan pergi ke giliran siapa pun yang muncul di Lailatul Qadar!”

Mualim, juru kunci makam, berteriak, “Aku tidak akan membayar!”

Awal tukang cukur mencibir.

“Demi Allah, Lim. Kamu harus bayar.Atau kita semua akan bersumpah untuk tidak pernah mati, atau menolak untuk dikubur oleh tanganmu! Lebih baik aku dikubur di pekarangan belakang rumahku.”

Rapat kecil itu meledak dengan gelak tawa.

***

Delegasi Desa Ujung Bukit pergi ke Desa Kaki Lembah untuk berunding, dan kedua desa itu setuju untuk berbagi biaya mengundang Ustaz Abdul Basyar untuk memeriahkan malam Ramadan.

Setelah Ramadan berakhir dan memasuki bulan Syawal yang diberkati, Desa Ujung Bukit dan Kaki Lembah merayakan tujuh pernikahan di antara warga mereka.

Bandung, 6 April 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun