Kemudian Ustaz Mukhsin, imam masjid, berbicara.
“Hanya ada satu cara untuk mengundah Ustaz Abdul Basyar. Kami patungan sesuai dengan kemampuan dan keikhlasan masing-masing. Seperti yang dikatakan pepatah, "Tidak ada yang bisa menggaruk gatal selain dengan kuku sendiri."
“Maaf, Ustaz. Bagaimana kita tahu berapa biaya yang dibutuhkan untuk mendatangkan beliau dan para hafiz?” tanya Fajri.
Mualim menjawab, “Kurang lebih sepuluh juta, belum termasuk takjil, iftar, dan sahur. Juga untuk sewa panggung dan tenda penonton.”
Awal tukang cukur yang pernah menjadi juara Olimpiade Matematika di provinsi menghitung cepat. “Totalnya kurang lebih sembilan juta. Aku akan menyumbang lima ratus ribu dan tiga kardus minuman mineral.”
Fajri berkata, “Aku punya tabungan sejuta yang kurencanakan untuk mahar Fatimah. Kusumbangkan untuk mengundang Ustaz Abdul Basyar. Jodoh takkan lari ke mana. Aku tidak ingin kita kehilangan muka dan mendengar mereka mengatakan Desa Ujung Bukit tidak mendapat berkah cahaya Ramadan!”
Penduduk desa menyumbang semampu mereka dan akhirnya terkumpul sebelas juta.
Maka Ustaz Abdul Basyar datang dan membuat malam Ramadan menjadi hidup, mengangkat nama Desa Ujung Bukit di semua kota dan desa di sekitarnya.
Kerumunan membanjiri setiap hari, ingin mendengarkan khotbah Ustaz dan lantunan merdu para hafiz dari ibu kota kabupaten.
Penduduk desa menyambut mereka, merasa lebih percaya diri dari sebelumnya. Mereka tidak lagi tergantung pada Sayyid, tetapi menjadi penguasa desa mereka sendiri. Mereka telah membayar biaya untuk mendatangkan Ustaz dan para hafiz dari kantong mereka sendiri!
Itu tahun lalu.