Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menolak Takdir

23 Desember 2021   20:43 Diperbarui: 23 Desember 2021   20:44 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuan Bobo duduk rapi dalam setelan jas merah marun bergaris hitam. Kancing emas dijahit di dalam rompi. Tuan Bobo memiliki cuping telinga yang panjang kelabu dan merah muda. Sebagian dari buntutnya lenyap akibat kecelakaan saat pesta daging panggang. Dia selalu duduk tegak, bersemangat untuk menyampaikan pendapatnya tentang lintasan berita hari ini.

Nikki duduk di seberang Tuan Bobo. Wajahnya yang dulu cerah ceria, telah ternoda cipratan jus dan bercak-bercak kecil di tempat rambut pirang dulu pernah berada. Kejadian yang tak terhindarkan dari pesta kebun teh dan kotak pasir. Mata kirinya yang hilang ditutup dengan untaian benang berwarna.

Nanuk, beruang kutub yang diwariskan dari kakaknya dan kemudian diturunkan lagi ke Mimi, duduk merosot di kursi plastik merah. Dagunya bertumpu di atas meja. Mata biru dari plastiknya menatap ke langit. Mulutnya yang berupa jahitan benang hitam hilang sudah---setelah dua puluh lima tahun, Nanuk menjadi kasar setelah melakukan berbagai petualangan tak kenal akhir---dan lebih cokelat daripada beruang cokelat, tetapi Mimi pasti ingin dia menjadi bagian dari hari istimewanya.

Koper itu lebih berat dari yang disangkanya. Maria menyeretnya dengan hati-hati saat membawanya dari ruang bawah tanah. Pintu kasa depan disangga dengan balok kayu. Maria bergerak ke samping melalui pintu, berjalan dengan susah payah melintasi halaman, dengan sangat hati-hati menghindari kerikil dan bebatuan, lalu meletakkan koper di bagasi belakang truk pikapnya. Dengan sangat hati-hati membungkus koper itu dengan terpal abu-abu, mengikatnya dengan tali erat-erat untuk mencegah gerakan yang tidak perlu.

Maria masuk ke dalam kabin truk pikap dan menyalakan rokok linting tangan. Mesin mobil menderum, dan Maria mengemudikan truk menuju jalan raya. Rumahnya di tengah kebun dan sawah menjauh dan hilang dari kaca spion.

***

Truk pikap biru yang berkarat menysuri jalan masuk. Bannya berderak-derak melindas kerikil.

Diana bergegas melewati ruang keluarga dan berdiri di serambi. Tangannya gemetar, saling melintir dengan gugup.

Mimpi buruk bagai film horor diputar di benaknya dengan latar belakang kengerian, dan layar perak menyimpan gambar-gambar yang berulang dan permanen terukir di jiwanya. Monster-monster berkeliaran di lanskap pegunungan yang membayangi sisi terjauh alam bawah sadarnya. Keringat malam. Obat tidur. Doa.

Dan ketika monster-monster itu mengulurkan cakar untuk menebas dagingnya, di mana Tuhannya? Di mana penyelamatan yang dinantinya? Dia meminta jawaban, tapi teror tetap berlangusng, gelap menyelimuti tak terlihat.

Diana membuka pintu dan menyambut tamunya. Kedua wanita itu memasuki dapur. Bau lasagna mengharumkan udara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun