Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 7: Tak Tertolong Lagi

30 Mei 2021   10:52 Diperbarui: 30 Mei 2021   10:55 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah kamu merasakan bahwa buku-buku tentang motivasi sama sekali tidak membantu? Ya, aku mengerti. Terkadang dapat membantu jika kamu benar-benar putus asa, tapi yang bener aja! Apakah kamu benar-benar membaca buku lima ratus halaman yang ditulis oleh seorang penulis kaya yang berhasil berkat uang papanya dan nasib mujur?

Apakah kamu benar-benar ingin membaca apa yang dikatakan orang seperti itu tentang bagaimana menjalani hidup dan bahagia? Buku seperti itu isinya sama semua. Jadi, mengapa ada begitu banyak buku sejenis? Judulnya kalau tidak mengandung "berani mengambil risiko!"  maka "berpikir positif!" atau "percayalah pada dirimu sendiri!" dan yang serupa itu.

Kamu bisa mendapatkan efek yang sama dari poster yang ditempel di stasiun atau terminal bus atau ruang manajer HR yang membosankan menguliahi karyawan bahwa moral sedang turun.

Tanpa sadar aku meraba voucher diskon toko buku di saku baju hadiah ulang tahun dari tante Ella. Aku belum menggunakannya, karena barang sialan itu tidak bisa dipakai untuk pembayaran online.

Jadi di sinilah aku, datang jauh-jauh ke sini sendiri, di hari minggu pagi, untuk membeli beberapa buku bodoh. Dan tentu saja, aku suka membaca. Siapa yang tidak? Tapi ada satu hal yang lebih kusukai, yaitu menyendiri dan tidak berdiri di toko buku yang ramai di akhir bulan Mei.

"Rafi?"

Ya Tuhan, tidak. Tolong, jangan ada yang bicara denganku.

"Ya Tuhan, Rafi, hai! Ingat gue, kan?"

Tidak, tolong, tinggalkan aku sendiri.

Aku memejamkan mata, menarik napas, dan melihat siapa pun yang menyapaku. Senyumannya lebih cemerlang daripada lampu neon yang berkedip-kedip di atas kami, dan rambutnya diikat dengan cara yang rumit. Sayangnya, aku mengenalinya.

"Juli! Hai."

Aku berharap suaraku tidak terlalu serak sehingga terdengar seperti penderita depresi akut. Padahal, tanpa bicara pun, rambutku yang kusut masai ditambah kantong hitam di bawah mataku akan bicara dengan sendirinya. Jadi, sebodo amat.

"Tuhan, kita belum pernah ketemu lagi sejak tamat SMA! Gimana kabar lu?"

Mengapa dia berbicara denganku? Aku benci ini. Kami bahkan dulu tidak berteman. Mengapa dia sekarang dia mengusikku?

"A-a-aku baik-baik saja. Kamu?"

"Oh, tahu,deh. Kagak ada yang spesial. Gue baru aja nerbitin buku pertama gue!"

Dia mengangkat tangannya, dan di tangannya buku hardcover tebal dengan wajahnya sendiri di sampulnya. "Bagaimana Menjalani Hidup: Motivasi untuk Kaum Muda yang Bingung dan Pemalu".

Oh, bagus, buku inspirasi lagi. Tentu saja dia menulis buku motivasional. Juli tidak bingung dan bukan pemalu.

"Selamat. Aku tidak tahu kamu seorang penulis."

"Yah, aslinya sih, kagak. E tapi gue baca buku Laya Soul yang judulnya You Don't Have to Learn Everything the Hard Way: What I Wish Someone Had Told Me, dan gue benar-benar-"

Pada titik ini aku ingin segera pergi meninggalkannya. Aku tidak peduli tentang semua ini. Aku hanya ingin keluar dari sini secepat mungkin. Mungkin aku bisa berpura-pura ada panggilan telepon masuk. Maaf, ada urusan keluarga, aku benar-benar harus pergi, tapi senang bertemu denganmu lagi, semoga berhasil dengan bukunya dan mungkin lain kali kita bertemu untuk minum kopi.

Atau mungkin aku bisa berpura-pura sakit? Jelas aku terlihat sakit, jadi tidak akan terlalu berlebihan.

"-lu? Ngapain lu di sini?"

Oh, tunggu, tunggu, dia menanyakan sesuatu padaku. Oke, cepat, pikirkan sesuatu.

"Oh, uh, kebetulan lewat jadi aku mampir. Tidak ada alasan tertentu. Kebetulan saja kita bertemu di sini."

"Iya, tahu nggak? Ini gila!"

Aku mencoba tersenyum kembali padanya, tapi yang keluar mungkin lebih milip seperti seringai sakit gigi. Dia sepertinya tidak memperhatikan, atau setidaknya tidak peduli.

Arloji pintarnya berbunyi bip, dan senyumnya berubah menjadi ekspresi terkejut.

"Oh sial. Penandatanganan buku gue udah dimulai. Gue harus buru-buru, seneng banget ketemu lu! Ini!"

Dia memberiku salinan bukunya. Aku tidak menginginkan ini. Bagaimana cara memberi tahu dia bahwa aku tidak menginginkan bukunya tanpa terlihat seperti bajingan yang tak tahu berterima kasih?

"Eh, aku tidak bisa..."

"Oh, Say. Nggak usah khawatir, deh. Gue punya jatah diskon teman dan keluarga, jadi buat lu gratis."

"Tapi tunggu-"

"Bye!"

Dia sudah berlari menuju kerumunan penggemarnya sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku. Sial, aku tidak bisa menerima ini begitu saja. Aku tidak menginginkannya, meskipun gratis.

Aku mencoba berpikir sejenak, tapi pikiranku ambyar oleh kerumunan yang terus bertambah di sekitarku. Baiklah, persetan. Aku mengambil bukunya dan berlari ke pintu keluar.

Begitu kembali ke mobilku di parkiran, aku menghela napas lega. Lama tidak keluar rumah. Pengalaman ini menguras habis tenagaku. Aku melihat buku di tanganku dengan kening berkerut. Persetan, aku punya bukunya, mungkin aku akan membaca sekilas saja. Atau aku bisa menjualnya secara online.

Aku membuka sampulnya dan ada sesuatu yang tidak terduga. Sepertinya catatan tulisan tangan Juli.

"Hi, Rafi. Gue tahu kita dulu nggak pernah ngobrol. tapi gue selalu ingat lu! Telpon gue kapan aja! <3"

Nomor teleponnya tertulis di bawah catatan itu. Tapi, tunggu, kenapa? Mengapa dia menulis kalimat itu? Mengapa ada '<3'? Ya Tuhan, apakah dia ingin berkencan denganku? Tidak ada yang mau berkencan denganku, apalagi gadis secantik dia. Itukah sebabnya dia memanggilku "Say" tadi? Ya Tuhan, aku belum gila, kan?

Aku tidak bisa berpikir sekarang. Biar nanti-nati saja mikirnya. Untuk saat ini, aku akan membaca isi bukunya.

Aku menatap halaman pertama yang dipenuhi kata, mencoba untuk fokus pada anekdot apa pun yang dia putuskan untuk memulai hal ini. Tapi pikiranku terus meleset dari halaman, mengembara ke jalur pemikiran yang berbeda. Apakah aku ingin berkencan dengannya? Aku hampir tidak kenal Juli. Aku tak pernah berkencan dengan gadis mana pun, apalagi yang secantik dia. Apakah aku terlalu berlebihan? Mungkin dia baik ke semua orang. Pasti itu, kan? Tidak mungkin seseorang seperti dia merasakan sesuatu pada orang sepertiku. Benar-benar luar biasa.

Buru-buru aku menutup buku itu. Aku akan membacanya nanti. Saat ini, aku tidak bisa fokus pada apa pun.

***
Detik demi detik berlalu. Aku berada di apartemen kecilku.

Aroma sisa bubur ayam kaki lima yang kuat seperti biasa. Bolak-balik aku menatap buku sialan itu, berpindah ke Netflix di televisi atau cicak di dinding sebelum kembali lagi ke buku itu.

Wajah Juli di sampul depan menggodaku, seolah-olah dia tahu telah berhasil membuatku gugup dan dia menyukai setiap detik kepanikanku yang tidak perlu. Bodoh. Ngapain aku panik?

Sebelum sadar sepenuhnya, aku telah menambahkan nomornya ke daftar kontak di ponsel. Yang membuatku berpikir, tak ada salahnya meneleponnya sekarang juga. Aku jarang menelepon. setidaknya aku perlu mencoba berbicara dengan manusia lagi, dan dia bukanlah, seperti, pilihan terburuk. Aku punya teman yang lebih jahat darinya.

Aku memaksakan diri untuk menyentuh ikon "panggil". Ponselku berdering.

Berdering.

Berdering.

Berdering, hingga terdengar pesan suara.

Sial, dia pasti masih sibuk. Aku meninggalkan pesan.

"Juli? Ini aku, Rafi. Aku ... aku tidak tahu. Uh, terima kasih untuk bukunya, ngomong-ngomong. Aku tidak punya kesempatan untuk mengatakannya sebelumnya, jadi, ya. Telepon balik kalu sempat, atau kirim pesan. Aku nggak keberatan, kok Tapi, eh, ya. Senang bertemu denganmu. Sampai jumpa."

Buru-buru aku menutup telepon. Rasanya mau muntah. Aku melempar ponselku ke ranjang dan tidur meringkuk di sofa malam itu.

Bodoh, panik untuk sesuatu yang seremeh itu. Sebanyak apa pun buku motivasional yang telah kubaca percuma saja. 

Aku benar-benar tak bisa ditolong lagi, bukan?

Bandung, 30 Mei 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun