Aroma sisa bubur ayam kaki lima yang kuat seperti biasa. Bolak-balik aku menatap buku sialan itu, berpindah ke Netflix di televisi atau cicak di dinding sebelum kembali lagi ke buku itu.
Wajah Juli di sampul depan menggodaku, seolah-olah dia tahu telah berhasil membuatku gugup dan dia menyukai setiap detik kepanikanku yang tidak perlu. Bodoh. Ngapain aku panik?
Sebelum sadar sepenuhnya, aku telah menambahkan nomornya ke daftar kontak di ponsel. Yang membuatku berpikir, tak ada salahnya meneleponnya sekarang juga. Aku jarang menelepon. setidaknya aku perlu mencoba berbicara dengan manusia lagi, dan dia bukanlah, seperti, pilihan terburuk. Aku punya teman yang lebih jahat darinya.
Aku memaksakan diri untuk menyentuh ikon "panggil". Ponselku berdering.
Berdering.
Berdering.
Berdering, hingga terdengar pesan suara.
Sial, dia pasti masih sibuk. Aku meninggalkan pesan.
"Juli? Ini aku, Rafi. Aku ... aku tidak tahu. Uh, terima kasih untuk bukunya, ngomong-ngomong. Aku tidak punya kesempatan untuk mengatakannya sebelumnya, jadi, ya. Telepon balik kalu sempat, atau kirim pesan. Aku nggak keberatan, kok Tapi, eh, ya. Senang bertemu denganmu. Sampai jumpa."
Buru-buru aku menutup telepon. Rasanya mau muntah. Aku melempar ponselku ke ranjang dan tidur meringkuk di sofa malam itu.
Bodoh, panik untuk sesuatu yang seremeh itu. Sebanyak apa pun buku motivasional yang telah kubaca percuma saja.Â