Ketika masih bocah, Hasna mengira kicauan burung adalah bagian alami dari fajar pagi. Sama seperti matahari terbit atau kabut yang turun dari bukit.Â
Malam-malamnya di kampungnya dulu begitu tenang sehingga dia bisa mendengarkan suara kelapa jatuh setelah dimakan tupai dan bahkan denging nyamuk di sekitar gubuk. Namun dia tak pernah mendengar suara nyanyian burung dari senja hingga pagi hari.
Hasna membayangkan bahwa burung-burung pada malam hari pulang ke sarang mereka tinggi di gunung, dan ketika mereka melihat matahari naik, mereka mengepakkan sayap mereka dan terbang turun untuk bertengger di puncak-puncak pohon yang menaungi desa. Makanya ketika Hasna mengambil air di perigi atau mencuci pakaian di sungai, burung-burung itu menyapanya dengan siulan riang.
Satu-satunya suara burung yang didengarnya di ibukota adalah saat mengunjungi adik suaminya di ibukota, Lima. Pada hari kedua dia di Jakarta, Bahrum memperkenalkannya kepada Lima, dan Lima memperkenalkan Hasna pada ayam pelungnya yang cantik.
Ibu Hasna pernah mengatakan bahwa burung adalah ciptaan Tuhan yang diberkati karena mereka dapat melihat semuanya: samudera yang luas dengan pulau-pulau sebagai hiasan, sungai yang mengalir berliku-liku melalui gunung-gunung terjun ke ngarai dan akhirnya ke laut, bahkan tudung es di kutub yang menjadi rumah bagi hewan-hewan seperti beruang putih dan penguin.
Kata-kata ibunya terngiang di tenganya saat dia dan suaminya membungkuk, menatap bulu-bulu merah kuning oranye hitam keperakan ayam pelung Lima. Di mata Hasna, ayam pelung itu tampak serupa dengan burung-burung di kampungnya.
"Kasihan sekali, terkurung seperti itu," Hasna berbisik.
"Jangan khawatir," kata Bahrum. "Ayam bukan jenis unggas yang dapat terbang. Sayapnya bukan diciptakan untuk terbang tinggi. Dia tidak pernah belajar bagaimana caranya."
Malam itu, ketika berbaring di tempat tidur mendengarkan suara lalu lintas yang tak kunjung sepi, Hasna bertanya-tanya apa yang akan dikatakan orang-orang di kampungnya jika dia bercerita bahwa adik perempuan Bahrum menghabiskan uang hasil penjualan dua kali panen seluruh sawah penduduk untuk membeli seekor burung.
Mereka akan berpikir bahwa orang-orang kota sudah kehilangan akal sehat, dengan kata lain: gila.
"Adikmu seharusnya tak boleh mengurung burung itu," katanya pada Bahrum.