Jakarta. Jl. Diponegoro. Tukang sapu taman di Istana Kepresidenan. Setiap pagi ia menyapu daun, merapikan pot, memastikan jalan bersih sebelum jam tujuh. Ia tidak bicara, tapi mendengar. Ia menyerap.
Suatu hari, suara mulai naik di luar pagar. Demonstrasi Kuda Tuli. Raka berdiri di kerumunan. Tidak membawa poster. Tidak memegang megafon. Hanya tubuhnya---sebagai saksi yang tidak ingin lari.
Gas air mata menyebar. Tameng baja dan sorot mata yang tak mau diajak bicara. Kuda berdiri gagah, tapi tidak tahu apa yang sedang terjadi. Raka duduk di trotoar. Ia tidak lari. Seragam tukang taman masih melekat di tubuhnya.
Tangannya ditarik. Tubuh dibawa masuk ke mobil. Tidak ada suara, tidak ada penjelasan. Ia dibawa ke bangunan tua, pagar tinggi, bau besi dan keringat. Ia tidak tahu nama tempat itu. Hanya tahu bahwa tubuhnya sedang dicatat oleh sejarah yang tidak masuk koran.
Beberapa hari kemudian, ia dilepaskan. Tanpa surat. Tanpa tanda. Ia tidak kembali ke Istana. Ia pulang ke Lembang. Diam. Menanam. Menulis. Menyimpan.
*
Di buku kecilnya, Raka menulis:
Saya tidak benci Pak Harto. Â
Saya kagum pada ketenangannya.
Tapi saya muak pada orang-orang yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang dagang. Â
Saya ikut demo bukan untuk menjatuhkan figur.