Cukup tanah yang bisa ditinggali.
Ampas di cangkir tubruk belum diaduk. Rasa mengendap. Tubuh duduk, tidak lari. Tidak sembunyi.
Gilang masuk, membawa buku tua dari rak bawah. Ia tidak bicara, hanya duduk di lantai. Fahri menyusul dengan seikat daun dari kebun. "Bapak, ini bisa diseduh juga," katanya.
Raka mengangguk. "Hari ini aku sudah menyeduh diriku sendiri."
Tidak ada komentar. Tidak ada pertanyaan. Tapi kehadiran mereka tidak saling mengganggu.
Malamnya, Raka menulis satu kalimat di dinding dapur, dengan kapur putih:
Tubuh yang belajar diam, kini mulai belajar bicara.
Tapi belum pada siapa-siapa.
Ia tidak tahu siapa yang akan membaca. Tapi ia tahu: tubuhnya sudah mulai hadir. Tidak utuh. Tapi cukup untuk duduk, menyeduh, dan tidak lari.
*
Luka lain muncul bukan dari dalam, tapi dari jalanan. Malam itu, hujan turun pelan. Di ruang baca, Raka menatap rak buku yang miring. Rokok kretek belum habis, tapi kenangan tahun 1997 menyusup diam-diam. Bukan nostalgia. Tapi sejarah tubuh yang tak tercatat.