Framing baru ini mengajak sekolah untuk melihat jangka panjang. Apakah lebih menguntungkan bagi sekolah untuk mendapat tambahan pemasukan puluhan juta rupiah per tahun dari sewa kantin? Atau, apakah lebih bernilai jika dalam sepuluh tahun, alumni yang ditempa lewat kantin-koperasi-platform digital itu mampu membangun usaha ratusan juta, menyerap tenaga kerja, bahkan menyumbang kembali kepada almamaternya? Keuntungan kecil jangka pendek akan selalu kalah oleh keuntungan sosial-ekonomi jangka panjang.
Selain itu, framing ini menyelamatkan sekolah dari jebakan pragmatisme. Sekolah bisa berkata dengan lantang: "Kami tidak kehilangan, kami berinvestasi. Kami tidak mengorbankan, kami menanam." Narasi semacam ini tidak hanya membangun legitimasi di hadapan guru dan orang tua, tetapi juga menciptakan kebanggaan kolektif: bahwa sekolahnya berani mengambil jalan pendidikan sejati, bukan jalan pintas.
Dengan framing baru ini, kantin dan koperasi tidak lagi dipandang sebagai ladang uang, melainkan sebagai ladang pembibitan generasi wirausaha. Di sanalah sekolah menemukan makna barunya: menjadi bukan sekadar tempat belajar teori, melainkan arena tempat kehidupan ekonomi itu sendiri diajarkan.
VI. Sistem Pengawasan: Mandiri dengan Check and Balance
A. Transparansi digital dan laporan berkala
Kemandirian tanpa pengawasan adalah ilusi. Jika OSIS diberi mandat penuh mengelola ekosistem bisnis sekolah, maka harus ada sistem check and balance yang nyata, bukan sekadar formalitas. Di sinilah teknologi digital memainkan peran vital: bukan hanya alat, tetapi penjamin transparansi.
Bayangkan sebuah aplikasi sederhana, dikelola siswa tetapi bisa diakses seluruh warga sekolah. Setiap transaksi kantin tercatat: berapa modal keluar, berapa penjualan masuk, berapa laba bersih harian. Koperasi pun serupa: saldo kas, pinjaman, cicilan, dan Sisa Hasil Usaha (SHU) ditampilkan secara terbuka. Tidak ada ruang gelap bagi manipulasi atau monopoli informasi.
Dengan mekanisme ini, siswa belajar bahwa laporan keuangan bukan sekadar angka di kertas, melainkan bahasa kepercayaan. Setiap data yang diumumkan secara transparan adalah ikatan moral antara pengelola dan anggota. Dari sini mereka memahami prinsip modern: bahwa reputasi bisnis lahir bukan dari janji, tetapi dari keterbukaan.
Namun transparansi saja tidak cukup. Harus ada laporan berkala---mingguan, bulanan, bahkan tahunan---yang dipresentasikan oleh OSIS selaku eksekutif bisnis kepada dewan pengawas (guru, orang tua, alumni). Laporan ini bukan seremonial, melainkan forum kritis di mana angka diuji, keputusan dipertanyakan, dan strategi baru didiskusikan. Di sinilah siswa ditempa menjadi pemimpin yang terbiasa mempertanggungjawabkan tindakannya di depan publik.
Dengan transparansi digital dan laporan berkala, sistem pengawasan menjadi pendidikan politik-ekonomi mini: bahwa kekuasaan tanpa pengawasan akan melahirkan penyalahgunaan, sedangkan kekuasaan yang diawasi dengan sehat akan melahirkan kepercayaan. Dan itulah yang membedakan simulasi bisnis main-main dengan laboratorium demokrasi ekonomi yang sesungguhnya.
B. Guru/komite sebagai mentor dan pengawas, bukan pengendali