Salah satu kesalahan klasik dalam pendidikan adalah ketika guru ingin menjadi pengendali mutlak. Segala sesuatu harus lewat izin guru, harus sesuai arahan guru, harus aman dan rapi tanpa risiko. Akibatnya, siswa hanya menjadi pelaksana pasif dari skenario yang sudah ditentukan. Inilah pola pikir feodal yang justru membunuh daya hidup pendidikan.
Dalam ekosistem bisnis siswa, peran guru dan komite sekolah harus bergeser: bukan sebagai pengendali, tetapi sebagai mentor dan pengawas. Mereka berdiri bukan di kursi eksekutif, melainkan di kursi dewan pengawas. Mereka tidak menentukan harga gorengan, tidak mengatur siapa berjualan di stan mana, tidak mengarahkan strategi digital. Itu semua adalah ranah OSIS sebagai manajer eksekutif.
Tugas guru dan komite adalah memastikan integritas sistem. Mereka menilai laporan keuangan, mengecek kebenaran data, memberi masukan saat ada masalah, dan mendampingi ketika siswa menghadapi risiko besar. Mereka adalah pagar, bukan sopir; penunjuk arah, bukan tangan yang memegang setir.
Lebih jauh, posisi ini juga menjadi pelajaran penting bagi guru sendiri: bahwa pendidikan bukan tentang mencetak kepatuhan, melainkan tentang melatih keberanian. Jika siswa jatuh karena dagangannya rugi, biarkan ia belajar. Jika salah strategi pemasaran, biarkan ia menerima konsekuensinya. Guru hanya perlu memastikan bahwa jatuhnya tidak sampai patah, dan salahnya tidak berujung bencana.
Dengan pola ini, relasi baru tercipta: siswa sebagai pelaku, guru sebagai mentor; siswa sebagai pengelola, komite sebagai penjaga. Ekosistem bisnis siswa pun tumbuh sebagai ruang di mana kebebasan dan tanggung jawab saling menguatkan, bukan saling meniadakan.
C. Alumni dan Wali Murid sebagai Dewan Kehormatan Ekonomi Sekolah
Sekolah sering lupa bahwa ia bukan berdiri sendiri. Di luar pagar sekolah ada jaringan sosial yang lebih luas: para orang tua yang setiap hari mempercayakan anaknya, dan para alumni yang telah ditempa dan kini hidup di tengah masyarakat. Jika ekosistem bisnis siswa benar-benar ingin tumbuh sehat, maka alumni dan wali murid harus dilibatkan sebagai Dewan Kehormatan Ekonomi Sekolah.
Mengapa mereka penting? Pertama, wali murid adalah pihak yang menanggung langsung konsekuensi pendidikan anak. Mereka berhak tahu bagaimana kantin, koperasi, dan platform digital sekolah dikelola. Keterlibatan mereka menciptakan kepercayaan: bahwa uang jajan anaknya, waktu belajarnya, bahkan kegagalan bisnis kecil yang dialami anaknya adalah bagian dari proses pendidikan yang sahih, bukan eksperimen liar tanpa arah.
Kedua, alumni adalah harta yang sering diabaikan. Banyak dari mereka yang telah menjadi pengusaha, profesional, atau pemimpin di bidang masing-masing. Kehadiran mereka sebagai Dewan Kehormatan membawa dua hal sekaligus: otoritas moral dan modal sosial. Mereka bisa menjadi mentor eksternal, membuka jaringan bisnis, bahkan menjadi investor awal bagi ide-ide usaha siswa yang menjanjikan. Kehadiran alumni juga memberi pesan simbolis: bahwa apa yang dilakukan siswa hari ini adalah jejak yang bisa berlanjut ke dunia nyata esok hari.
Namun, peran Dewan Kehormatan ini harus jelas: mereka bukan pemegang kendali, melainkan penjaga nilai. Mereka tidak ikut mengatur harga atau menentukan strategi, tetapi memastikan bahwa ekosistem bisnis siswa berjalan sesuai prinsip transparansi, keadilan, dan keberlanjutan. Mereka menjadi role model yang memberi inspirasi, sekaligus benteng moral yang mencegah ekosistem ini tergelincir ke arah pragmatisme sempit.
Dengan struktur pengawasan berlapis---OSIS sebagai eksekutif, guru dan komite sebagai mentor-pengawas, serta alumni dan wali murid sebagai dewan kehormatan---ekosistem bisnis siswa tidak lagi rapuh. Ia berdiri tegak sebagai miniatur demokrasi ekonomi yang lengkap, di mana setiap aktor punya peran, setiap peran punya batas, dan setiap batas menjamin keberlangsungan sistem.