Di balik hiruk-pikuk upacara bendera, jadwal pelajaran, dan deretan ujian, ada denyut kehidupan lain di sekolah: kantin, koperasi, dan ruang transaksi harian siswa. Selama ini ia dianggap sampingan, pelengkap, bahkan kadang disepelekan. Padahal justru di sanalah tersimpan revolusi sunyi---revolusi yang bisa mengubah wajah pendidikan kita.
Sekolah tidak boleh berhenti pada fungsi lama: mencetak murid menjadi pekerja patuh yang siap diserap industri. Pendidikan yang hanya berorientasi pada kepatuhan birokratis akan gagal melahirkan manusia merdeka. Sebaliknya, sekolah harus berani mengambil mandat baru: melahirkan pengusaha, inovator, dan pemimpin. Bukan sekadar buruh di mesin ekonomi, melainkan arsitek ekonomi itu sendiri.
Kantin sekolah yang dikelola siswa, koperasi yang dibangun dengan transparansi, platform digital yang membuka akses ke pasar global---semua itu adalah latihan konkret. Dari sana, siswa belajar merancang strategi, mengelola modal, menghadapi risiko, hingga mempertanggungjawabkan keputusannya. Mereka bukan lagi hanya murid yang mencatat teori ekonomi, tetapi pelaku ekonomi nyata dengan integritas.
Inilah yang disebut revolusi sunyi: perubahan besar yang tidak ditiupkan lewat jargon, melainkan tumbuh pelan-pelan dari kehidupan sehari-hari. Dari jajanan sederhana lahir kesadaran bahwa ekonomi bisa dikelola; dari laporan kecil koperasi lahir budaya akuntabilitas; dari simulasi ekspor simbolis lahir mentalitas global.
Jika sekolah berani memeluk paradigma ini, maka ia tidak hanya akan melahirkan tenaga kerja, melainkan generasi penggerak bangsa. Generasi yang berani mengambil alih kendali ekonomi, bukan hanya ikut arus. Generasi yang mengerti bahwa pendidikan bukan sekadar jalan menuju ijazah, tetapi jalan menuju kemandirian dan kepemimpinan.
B. Kantin sebagai ruang kecil dengan visi besar
Kantin sekolah, pada pandangan pertama, hanyalah ruang sederhana: meja kayu, deretan jajanan, suara riuh anak-anak berebut makanan. Tetapi di balik kesederhanaan itu, tersembunyi sebuah ruang kecil dengan visi besar.
Di situlah siswa pertama kali belajar arti permintaan dan penawaran, rasa puas dan kecewa pelanggan, bahkan pahitnya rugi dan manisnya untung. Di situlah mereka menemukan bahwa setiap transaksi bukan sekadar tukar-menukar barang dengan uang, melainkan juga pertukaran ide, kreativitas, dan kepercayaan. Kantin adalah cermin miniatur pasar, yang jika dikelola dengan kesadaran, bisa menjadi universitas bisnis paling nyata sebelum mereka benar-benar menginjakkan kaki di dunia luar.
Apa yang tampak remeh---membungkus gorengan, menata etalase, atau mencatat hasil penjualan harian---sebenarnya adalah latihan awal untuk membangun bangsa. Karena dari keterampilan kecil itulah lahir mentalitas besar: mentalitas bernilai tambah, mentalitas orientasi pasar, mentalitas keberanian menghadapi risiko.
Dengan cara ini, kantin tidak lagi sekadar ruang jajan. Ia menjadi laboratorium ekonomi, ruang demokrasi, sekaligus ladang imajinasi global. Ruang kecil, ya, tapi dengan visi besar: menyiapkan generasi yang mampu melompat dari meja kantin sekolah ke meja perundingan dunia.
Jika sekolah mau melihat lebih jauh, maka revolusi pendidikan tidak perlu dimulai dari gedung megah atau kurikulum rumit. Ia bisa dimulai dari hal sederhana: sebuah kantin, yang dikelola dengan visi besar.