Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menggagas Nasionalisasi Pertanian

4 Agustus 2025   11:54 Diperbarui: 4 Agustus 2025   11:54 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kedaulatan Pangan dalam Genggaman Negara: Reorientasi Radikal Pertanian Indonesia Menuju Model Kolektif Berbasis Keadilan dan Efisiensi

Abstrak:

Ketahanan pangan Indonesia menghadapi tantangan struktural serius: fragmentasi kepemilikan lahan, menurunnya antusiasme petani, stagnasi produktivitas, serta meningkatnya ketergantungan pada impor beras. Berbeda dengan pendekatan liberal yang mengandalkan pasar bebas dan korporasi, makalah ini mengajukan solusi radikal berupa pengambilalihan sektor pertanian oleh negara, melalui pendirian sistem pertanian kolektif nasional berbasis efisiensi skala dan jaminan kesejahteraan petani. Dengan mengkaji perbandingan kebijakan pertanian antara Indonesia, Vietnam, dan RRT, serta data produksi, impor, dan kesejahteraan petani dari tahun 2020--2024, esai ini menunjukkan bahwa intervensi penuh negara tidak hanya realistis, tetapi juga mendesak untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang berkelanjutan dan adil. Paper ini menawarkan skema kelembagaan dan kerangka implementasi nasionalisasi pertanian yang berpijak pada prinsip keadilan sosial, efisiensi teknologi, dan ketahanan nasional.

Latar Belakang Utama:

Indonesia merupakan salah satu negara agraris terbesar di dunia, namun ironisnya masih bergantung pada impor beras setiap tahunnya. Fragmentasi kepemilikan lahan menyebabkan rendahnya produktivitas dan efisiensi, sementara petani mengalami penurunan kesejahteraan akibat fluktuasi harga gabah, biaya produksi tinggi, dan lemahnya intervensi negara. Di sisi lain, negara-negara seperti RRT dan Vietnam berhasil meningkatkan produktivitas melalui pendekatan sistematis: Vietnam melalui kontrol negara atas produksi dan distribusi, dan RRT dengan pengelolaan korporasi besar atas lahan sewa petani.

Dinamika ini menuntut Indonesia untuk berpikir ulang secara mendalam tentang model pengelolaan pertanian nasional. Jika pendekatan pasar terus dipertahankan, ketahanan pangan akan terus terancam dan profesi petani akan kian ditinggalkan. Sudah saatnya negara tidak sekadar menjadi regulator, tetapi pelaku utama dalam mengelola sektor pangan strategis nasional secara langsung dan progresif.

Outline Esai:

BAB I -- Pendahuluan

Latar belakang dan urgensi

Rumusan masalah

Tujuan penulisan

Kerangka metodologis dan batasan

BAB II -- Tinjauan Pustaka

Teori ketahanan pangan dan kedaulatan pangan

Teori ekonomi negara dan kontrol atas sumber daya strategis

Studi kasus kebijakan pertanian: Indonesia, Vietnam, dan RRT

BAB III -- Analisis Empiris Pertanian Indonesia (2020--2024)

Data produksi, impor, dan konsumsi beras

Kesejahteraan petani dan tren jumlah petani

Tantangan struktural: lahan sempit, produktivitas stagnan

BAB IV -- Pembelajaran dari Vietnam dan RRT

Sistem manajemen kolektif dan dukungan negara

Peran koperasi, BUMN, dan korporasi swasta

Integrasi teknologi dan efisiensi skala besar

BAB V -- Gagasan Nasionalisasi Pertanian Indonesia

Argumentasi filosofis, sosial, dan ekonomi

Skema kelembagaan: BUMN pertanian dan petani profesional

Mekanisme insentif dan rekrutmen petani muda

Simulasi potensi dampak terhadap produksi dan kesejahteraan

BAB VI -- Tantangan dan Strategi Implementasi

Risiko politik, sosial, dan birokrasi

Model adaptasi: sukarela, insentif, dan berbasis data spasial

Roadmap 10 tahun menuju kedaulatan pangan nasional

BAB VII -- Kesimpulan dan Rekomendasi

Rangkuman temuan dan argumen utama

Usulan kebijakan dan langkah prioritas

BAB I -- PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Urgensi

Di balik sebutan "negara agraris" yang kerap melekat pada Indonesia, tersembunyi ironi yang semakin menyayat seiring waktu: bangsa yang pernah menasbihkan padi sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran, kini justru berdiri rapuh di hadapan kebutuhan pokoknya sendiri. Sawah-sawah mengecil, petani menua, anak-anak petani enggan mewarisi tanah yang kian tak menjanjikan, sementara impor beras terus membengkak bagaikan luka yang tak kunjung sembuh dalam tubuh ketahanan pangan nasional.

Antara tahun 2020 hingga 2024, data menunjukkan bahwa produksi padi nasional cenderung stagnan bahkan menurun, sementara kebutuhan konsumsi terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Di saat yang sama, harga gabah yang diterima petani nyaris tidak sepadan dengan biaya produksi yang melonjak akibat mahalnya pupuk, benih unggul, dan sewa alat pertanian. Akibatnya, margin keuntungan bagi petani semakin menipis, menjadikan profesi ini tak lagi menarik secara ekonomi maupun sosial. Keengganan generasi muda untuk melanjutkan estafet pertanian bukan semata karena faktor gengsi, tapi karena ekosistem yang memang tak layak hidup.

Dari sisi struktural, ketimpangan penguasaan lahan menjadi masalah klasik yang tak kunjung tertangani. Sebagian besar petani Indonesia mengolah lahan sempit, bahkan banyak yang hanya menyewa. Fragmentasi ini menciptakan biaya tetap tinggi per satuan hasil, menghambat adopsi teknologi, dan menutup akses terhadap pembiayaan produktif. Sebaliknya, negara-negara seperti Vietnam dan Tiongkok justru membuktikan bahwa kebijakan pertanian yang terorganisir secara kolektif---baik melalui koperasi, korporasi negara, maupun skema sewa terintegrasi---mampu menghasilkan efisiensi luar biasa dan meningkatkan kesejahteraan petani secara nyata.

Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar "bagaimana meningkatkan produksi," melainkan "siapa yang seharusnya memegang kendali atas produksi?" Apakah negara cukup menjadi fasilitator pasif yang menyerahkan nasib pangan kepada pasar dan swasta? Ataukah negara harus turun langsung menjadi pelaku utama yang mengelola, memproduksi, dan menjamin keberlanjutan sistem pangan nasional?

Kondisi hari ini menuntut kita untuk tidak lagi bermain-main dengan retorika kemandirian pangan. Dibutuhkan keberanian politik dan imajinasi kebijakan untuk mendobrak pola lama yang gagal. Apa yang tidak bisa dilakukan oleh petani kecil secara individual, bisa dilakukan oleh negara yang hadir secara kolektif---dengan skala, teknologi, dan niat baik. Nasionalisasi sektor pertanian, dalam konteks ini, bukanlah bentuk regresi ke masa lalu yang sentralistik, tetapi upaya penyelamatan terakhir atas masa depan pangan bangsa.

Dengan menelaah data, membandingkan kebijakan lintas negara, dan menelaah peluang sistem kolektif berbasis keadilan, makalah ini ingin menghidupkan kembali mimpi besar: bahwa tanah air yang subur ini seharusnya tak hanya menghasilkan pangan yang cukup, tetapi juga kehidupan yang layak bagi mereka yang menggantungkan hidup dari tanah.

B. Rumusan Masalah

Di tengah pusaran ketidakpastian pangan global, pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi dan kedaulatan bangsa seolah kembali mengetuk pintu nurani kita: sampai kapan Indonesia akan terus mengandalkan impor beras sebagai penopang kebutuhan pokoknya? Sampai kapan petani akan terus menjadi profesi yang diwariskan dalam kemiskinan, bukan dalam kebanggaan?

Persoalan pangan bukan semata perkara teknis tentang panen dan distribusi. Ia adalah urusan eksistensial---tentang siapa yang mengendalikan sumber daya hidup rakyat, siapa yang menentukan harga dan arah produksi, serta siapa yang paling rentan jika sistem ini gagal. Ketika negara memilih untuk menjadi penonton dalam sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka yang terjadi bukan hanya kerentanan sistemik, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanat konstitusi.

Di hadapan kenyataan pahit ini, penelitian ini mencoba merumuskan ulang akar persoalan pertanian nasional dalam kerangka yang lebih luas dan lebih berani. Maka dari itu, rumusan masalah dalam tulisan ini dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Mengapa sektor pertanian Indonesia, khususnya subsektor perberasan, mengalami stagnasi produktivitas dan terus bergantung pada impor di tengah statusnya sebagai negara agraris?

  2. Bagaimana kondisi struktural---seperti penguasaan lahan, kesejahteraan petani, biaya produksi, serta rendahnya regenerasi petani---berkontribusi terhadap kerentanan ketahanan pangan nasional?

  3. Apa yang membedakan pendekatan kebijakan pertanian Indonesia dengan negara-negara seperti Vietnam dan Republik Rakyat Tiongkok dalam hal produktivitas dan kemandirian pangan?

  4. Apakah pengambilalihan sektor pertanian oleh negara (nasionalisasi parsial atau penuh) merupakan solusi yang realistis dan berkeadilan untuk menjawab krisis pertanian saat ini?

  5. Bagaimana skema kelembagaan, pembiayaan, dan transformasi sosial dapat dirancang agar pengelolaan pertanian nasional berbasis negara mampu berjalan efektif tanpa mengorbankan petani sebagai subjek utama?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar bentuk pencarian ilmiah, tetapi juga cerminan dari keprihatinan yang mendalam terhadap arah masa depan bangsa. Kita dihadapkan pada pilihan historis: membiarkan sistem berjalan di atas rel yang usang dan timpang, atau mengambil langkah transformatif yang berani, dengan negara sebagai penggerak utama roda pertanian dan penjaga kedaulatan pangan sejati.

C. Tujuan Penulisan

Tulisan ini lahir bukan dari ruang akademik yang steril dan terpisah dari kenyataan, melainkan dari keresahan yang merambat hingga ke lapisan akar rumput---di mana petani bergulat setiap musim dengan ketidakpastian cuaca, harga gabah yang tak menentu, dan janji-janji kebijakan yang kerap tak menyentuh tanah tempat mereka berpijak. Di tengah gegap gempita narasi "Indonesia lumbung pangan dunia", yang terdengar justru rintihan petani yang perlahan kehilangan daya untuk menanam, harapan untuk hidup layak, dan kepercayaan bahwa negara masih peduli.

Dengan kesadaran inilah, tulisan ini disusun untuk mencapai beberapa tujuan mendasar yang tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga strategis dan normatif. Tujuan-tujuan tersebut antara lain:

  1. Mengurai akar persoalan stagnasi produktivitas dan krisis regenerasi dalam sektor pertanian, khususnya dalam konteks produksi padi nasional.
    Tulisan ini ingin menjelaskan mengapa produktivitas pertanian Indonesia cenderung mandek, meskipun secara alamiah negeri ini diberkahi dengan tanah subur dan iklim yang bersahabat. Apakah masalahnya terletak pada struktur agraria, sistem kebijakan, atau pola hubungan antara negara dan petani?

  2. Menganalisis kerentanan ketahanan pangan nasional melalui perspektif struktural---yakni keterbatasan lahan, biaya produksi yang tinggi, rendahnya harga jual gabah, serta turunnya minat generasi muda menjadi petani.
    Penulisan ini ingin menegaskan bahwa krisis pangan tidak bisa dipecahkan hanya dengan intervensi jangka pendek atau bantuan bersifat karitatif, melainkan harus dibedah dari fondasi sistemiknya.

  3. Membandingkan kebijakan dan pendekatan negara lain---khususnya Vietnam dan Tiongkok---dalam membangun sistem pertanian yang terorganisir, produktif, dan menjamin kesejahteraan petaninya.
    Dengan membuka jendela perbandingan ini, tulisan berupaya memperluas cakrawala bahwa sistem kolektif berbasis negara bukan hanya mungkin, tetapi telah terbukti berhasil di berbagai negara dengan konteks sejarah dan demografi yang tidak jauh berbeda.

  4. Merumuskan gagasan alternatif mengenai peran negara sebagai pelaku utama dalam sektor pertanian, baik melalui nasionalisasi sebagian aset strategis, pembentukan BUMN pertanian produktif, maupun skema korporatisasi lahan berbasis keadilan.
    Tujuan ini sekaligus menantang paradigma lama tentang liberalisasi sektor pangan, dan menawarkan kerangka transformasi kelembagaan yang lebih berorientasi pada kedaulatan dan keberlanjutan.

  5. Memberikan kontribusi gagasan bagi pembuat kebijakan, akademisi, serta gerakan masyarakat sipil untuk merumuskan ulang arah reformasi agraria dan ketahanan pangan dalam konteks geopolitik dan tantangan abad ke-21.
    Karena pada akhirnya, pertanian bukan hanya soal menyediakan makanan, tapi juga tentang mempertahankan jati diri bangsa, mengangkat martabat petani, dan menjamin bahwa generasi mendatang tidak tumbuh dalam ketergantungan pangan yang memalukan.

D. Kerangka Metodologis dan Batasan

Penelitian ini lahir dari keprihatinan, namun dibentuk dengan pisau analisis yang tajam dan kerangka metodologi yang sadar batas. Di tengah derasnya data dan silang pendapat dalam wacana pertanian nasional, diperlukan pijakan metodologis yang kokoh namun lentur---yang mampu menangkap kompleksitas struktural, historis, dan sosial dari krisis yang sedang kita hadapi.

1. Pendekatan dan Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif-kritis, dengan menempatkan pertanian sebagai medan pertempuran ideologi, struktur ekonomi, dan relasi kuasa. Kerangka berpikir yang digunakan bersifat interdisipliner, memadukan:

Ekonomi politik agraria, untuk mengurai relasi kepemilikan dan distribusi lahan serta bagaimana negara dan pasar memainkan peran dalam formasi tersebut;

Sosiologi pedesaan, untuk membaca perubahan perilaku, harapan, dan nilai-nilai yang menggerakkan atau justru memudarkan semangat bertani;

Studi kebijakan komparatif, yang memungkinkan penulis membaca keberhasilan atau kegagalan kebijakan pertanian di negara-negara seperti Vietnam dan Tiongkok sebagai cermin reflektif bagi Indonesia.

Metode pengumpulan data menggunakan pendekatan kajian pustaka dan analisis sekunder terhadap laporan-laporan BPS, Kementerian Pertanian, FAO, World Bank, dan data agraria lainnya. Selain itu, dilakukan pula pembacaan kritis terhadap literatur akademik, hasil penelitian terdahulu, dan wacana publik terkait ketahanan pangan dan reforma agraria.

2. Teknik Analisis

Penelitian ini memanfaatkan teknik analisis tematik untuk menemukan pola-pola makro dan mikro yang mempengaruhi arah kebijakan pertanian Indonesia. Beberapa tema kunci yang dianalisis antara lain: kerentanan pangan, struktur kepemilikan lahan, produktivitas padi, kesejahteraan petani, serta peran negara versus swasta.

Untuk aspek komparatif, digunakan kerangka analisis perbandingan kebijakan (policy comparative analysis) untuk melihat bagaimana Vietnam dan Tiongkok menerapkan strategi produktivitas beras berbasis negara dan bagaimana perbedaan konteks sosial-politik turut membentuk hasilnya.

3. Batasan Penelitian

Sebagaimana semua karya ilmiah, penelitian ini juga memiliki keterbatasan. Beberapa batasan yang harus diakui adalah:

Penelitian ini tidak melakukan survei lapangan langsung kepada petani, sehingga analisis persepsi dan perilaku lebih banyak didasarkan pada sumber sekunder yang telah terdokumentasi;

Fokus utama adalah pada subsektor padi, sehingga belum membahas ketahanan pangan secara lebih luas mencakup hortikultura, peternakan, dan perikanan;

Tulisan ini lebih menekankan pada perumusan gagasan alternatif kebijakan, bukan pada perencanaan teknis operasional kelembagaan secara rinci, yang tentu membutuhkan studi lanjutan;

Analisis perbandingan dengan Vietnam dan Tiongkok difokuskan pada kerangka kebijakan dan institusionalisasi produktivitas, dan tidak masuk terlalu dalam pada dinamika politik dalam negeri masing-masing negara.

Dengan segala keterbatasan ini, tulisan ini tetap diharapkan mampu menjadi sebuah sumbangsih pemikiran yang jernih namun menggugah---sebuah ajakan untuk membayangkan ulang masa depan pertanian Indonesia, di mana negara bukan lagi hanya regulator, tetapi penggerak utama kebangkitan pangan dan martabat petani.

BAB II -- Tinjauan Pustaka

A. Teori Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan

Ketika sebutir nasi terhidang di atas meja, kita jarang berpikir tentang perjalanan panjang yang telah dilaluinya---mulai dari tangan petani yang lelah, tanah yang mulai retak oleh kekeringan atau kebijakan yang tidak adil, hingga sistem distribusi yang acapkali lebih menguntungkan tengkulak daripada petani itu sendiri. Maka dari itu, konsep ketahanan pangan dan kedaulatan pangan bukanlah sekadar terminologi teknis; keduanya adalah medan ideologis dan politis tempat pertarungan masa depan sebuah bangsa berlangsung secara diam-diam, namun menentukan.

1. Ketahanan Pangan: Dimensi Teknis dan Struktural

Secara umum, ketahanan pangan (food security) merujuk pada kondisi ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang aktif dan sehat (FAO, 1996). Dalam kerangka ini, ketahanan pangan ditopang oleh empat pilar utama:

Ketersediaan pangan (availability), yakni produksi pangan yang memadai di tingkat nasional maupun lokal.

Akses pangan (accessibility), mencakup kemampuan individu atau rumah tangga untuk memperoleh pangan, baik melalui produksi sendiri, pembelian, maupun bantuan.

Pemanfaatan pangan (utilization), yang berkaitan dengan nilai gizi, kesehatan, dan keberagaman konsumsi.

Stabilitas (stability), yang mencakup keberlanjutan dari ketiga pilar sebelumnya dalam jangka panjang, baik secara ekonomi, ekologi, maupun sosial.

Namun, dalam praktiknya, kerangka ini sering kali direduksi menjadi proyek teknokratis belaka---angka produksi yang ditingkatkan, data surplus yang dimanipulasi, atau program bantuan yang menutupi persoalan mendasar: ketimpangan akses terhadap sumber daya produksi, khususnya tanah dan air.

2. Kedaulatan Pangan: Melampaui Sekadar Ketahanan

Sebagai respons terhadap dominasi paradigma ketahanan pangan yang terlalu teknokratik dan sering kali tunduk pada logika pasar global, muncul konsep tandingan yang lebih radikal dan progresif: kedaulatan pangan (food sovereignty). Diperkenalkan oleh gerakan petani internasional La Via Campesina pada pertengahan 1990-an, kedaulatan pangan menekankan hak setiap bangsa dan komunitas untuk menentukan sistem pangan dan pertaniannya sendiri, tanpa dikendalikan oleh pasar internasional, korporasi agribisnis, atau logika perdagangan bebas.

Kedaulatan pangan menegaskan beberapa prinsip kunci:

Hak petani atas tanah, benih, air, dan teknologi.

Prioritas pada produksi lokal dan konsumsi domestik.

Penolakan terhadap dominasi korporasi multinasional dalam sistem pangan.

Perlindungan terhadap praktik pertanian berkelanjutan dan pengetahuan lokal.

Dengan kata lain, jika ketahanan pangan menanyakan "apakah kita cukup makan?", maka kedaulatan pangan bertanya "siapa yang memutuskan apa yang kita makan, bagaimana cara kita menanamnya, dan siapa yang diuntungkan dari sistem itu?"

3. Ketahanan Pangan vs. Kedaulatan Pangan: Paradoks dan Peluang

Indonesia selama dua dekade terakhir cenderung mengadopsi pendekatan ketahanan pangan, dengan fokus pada peningkatan produksi, pencapaian swasembada, dan pengendalian harga. Namun, pendekatan ini menyisakan banyak paradoks. Produksi bisa naik, tapi kesejahteraan petani menurun. Surplus bisa dicapai, tapi lahan pertanian semakin menyempit. Harga gabah bisa dikendalikan, namun biaya produksi melonjak dan petani merugi.

Di sinilah pentingnya mengintegrasikan prinsip-prinsip kedaulatan pangan ke dalam kerangka kebijakan nasional. Bukan untuk menggantikan ketahanan pangan, tetapi untuk menghidupi dimensi keberdayaan dan keadilan di dalamnya. Bahwa pangan bukan sekadar komoditas, tapi fondasi kedaulatan bangsa. Bahwa petani bukan sekadar produsen pangan, tapi penjaga peradaban.

Dan bahwa negara, dalam konteks ini, tak bisa terus bersembunyi di balik mekanisme pasar. Ia harus hadir---bukan sebagai penonton atau pelayan investor, tetapi sebagai penggerak utama transformasi agraria yang berkeadilan.

B. Kerangka Teoretik Ekonomi Politik Pertanian

Pertanian, dalam wajah aslinya, bukan hanya urusan cangkul, benih, dan hujan yang datang terlambat. Ia adalah arena ekonomi politik, tempat kepentingan negara, pasar, dan rakyat saling bertarung memperebutkan hak atas tanah, hasil, dan arah masa depan. Dalam kerangka ini, memahami krisis pertanian di Indonesia tak cukup dengan pendekatan teknis atau statistik produksi semata. Diperlukan lensa yang lebih tajam dan kritis---yakni lensa ekonomi politik.

1. Tanah sebagai Arena Kuasa dan Modal Politik

Dalam ekonomi politik klasik maupun neo-marxian, tanah bukan sekadar faktor produksi. Ia adalah instrumen kuasa. Di negara-negara dengan sejarah kolonialisme agraria seperti Indonesia, distribusi tanah selalu menjadi warisan ketimpangan struktural yang belum sepenuhnya dibereskan. Reforma agraria, yang semestinya menjadi proyek emansipasi petani, kerap terjebak dalam retorika tanpa implementasi. Akibatnya, mayoritas petani hari ini bercocok tanam di lahan sempit---di bawah 0,3 hektare---yang tidak mampu memberikan hasil layak bahkan untuk hidup subsisten.

Dalam kerangka ini, penguasaan tanah oleh korporasi, baik domestik maupun asing, bukan hanya soal efisiensi produksi, tetapi soal perampasan hak hidup berjuta keluarga petani kecil. Ini yang oleh David Harvey disebut sebagai accumulation by dispossession---proses akumulasi kapital yang terjadi melalui pengambilalihan aset rakyat secara sistematis, difasilitasi oleh negara.

2. Negara: Netralitas Semu dalam Arena Pangan

Teori ekonomi politik menolak anggapan bahwa negara bersifat netral. Dalam realitas pertanian Indonesia, negara justru kerap lebih berpihak pada logika pasar dan kepentingan elite dibanding nasib petani kecil. Kebijakan harga gabah, subsidi pupuk yang timpang, hingga liberalisasi impor beras adalah cermin dari keberpihakan ini. Di sini kita menyaksikan bagaimana regulasi bisa menjadi alat reproduksi ketimpangan, bukan koreksi terhadapnya.

Kondisi ini berbeda jauh dengan pendekatan negara-negara seperti Vietnam atau RRC, di mana negara bukan hanya regulator, tetapi juga aktor utama dalam produksi dan distribusi pangan. Negara membangun infrastruktur produksi, menyediakan input secara terjamin, hingga mengorganisasi penyerapan hasil secara kolektif melalui koperasi atau lembaga negara. Di Indonesia, fungsi-fungsi ini tercerai-berai, diserahkan pada mekanisme pasar yang justru menekan petani dalam rantai nilai yang tidak adil.

3. Pasar, Tengkulak, dan Rantai Ketergantungan Struktural

Dalam teori dependency, sistem pertanian negara-negara berkembang kerap terjerat dalam ketergantungan ganda: pada input yang mahal dan pada pasar yang tak berpihak. Petani membeli pupuk dan benih dengan harga tinggi dari korporasi, lalu menjual hasilnya dengan harga murah kepada tengkulak. Negara tidak hadir untuk mengintervensi rantai ini. Alih-alih membebaskan, kebijakan justru memperdalam ketergantungan: subsidi pupuk menguntungkan korporasi, bukan petani. Kredit usaha tani disalurkan lewat skema yang rumit dan minim pembinaan. Maka petani tetap berada dalam lingkaran setan: produktivitas rendah, beban biaya tinggi, dan harga jual tak layak.

Dalam kerangka ini, penting untuk meninjau ulang relasi antara negara, pasar, dan petani. Bukan untuk kembali pada sentralisme ala Orde Baru yang eksploitatif, tetapi untuk membangun model baru, di mana negara tidak pasif, tetapi aktif dan demokratis dalam merancang masa depan pangan. Model di mana korporasi tidak mengendalikan sistem pangan, melainkan petani yang berserikat dan dilindungi.

4. Pertanian sebagai Proyek Politik dan Peradaban

Seiring meningkatnya tekanan global---krisis iklim, volatilitas harga pangan dunia, dan konflik geopolitik---pertanian tak bisa lagi dilihat sebagai sektor marjinal. Ia adalah benteng terakhir peradaban, tempat eksistensi kolektif bangsa dipertaruhkan. Maka kerangka ekonomi politik yang digunakan dalam tulisan ini bukan hanya menelaah hubungan kuasa dalam rantai pangan, tetapi juga mengajak kita membayangkan ulang bentuk intervensi negara yang adil dan transformatif.

Bahwa pangan bukan sekadar komoditas. Bahwa petani bukan sekadar pekerja informal. Bahwa pertanian adalah proyek politik yang memerlukan keberpihakan penuh dan keberanian moral dari negara untuk berpihak pada mereka yang selama ini hanya dipanggil ketika musim tanam tiba, lalu dilupakan ketika panen tak menguntungkan.

C. Studi Kasus Kebijakan Pertanian: Indonesia, Vietnam, dan RRT

Sejarah selalu mencatat bahwa bangsa yang gagal mengelola pangannya sendiri akan ditundukkan oleh mereka yang mampu. Dalam kurun tiga dekade terakhir, peta pertanian Asia mengalami pergolakan diam-diam namun tajam. Indonesia, negeri agraris yang dulu dipuja sebagai lumbung Asia, justru kini tertinggal oleh Vietnam yang pernah berguru padanya, dan oleh Tiongkok yang berhasil mengubah krisis menjadi kebangkitan agraria besar-besaran.

1. Indonesia: Retorika Agraris di Tengah Liberalisasi Pangan

Indonesia memiliki segalanya: tanah subur, iklim mendukung, dan sejarah agraria yang panjang. Namun negeri ini terjerat dalam dilema struktural---antara semangat kedaulatan pangan dan realitas kebijakan yang liberal. Sejak 1998, sektor pertanian kian terbuka bagi mekanisme pasar. Harga gabah tidak dijamin secara konsisten, subsidi input tak merata, dan ketergantungan pada impor terus membesar, bahkan di saat produksi dalam negeri mencukupi.

Lebih menyakitkan lagi, petani terus tersingkir dari tanahnya sendiri. Fragmentasi lahan yang ekstrem menyebabkan skala ekonomi usaha tani tak layak. Rata-rata luas lahan petani hanya 0,3 hektare, terlalu kecil untuk efisiensi, terlalu besar untuk sekadar bertahan. Alih-alih memperkuat koperasi atau integrasi rantai produksi, negara justru menarik diri dari pengelolaan pangan, membiarkan tengkulak dan korporasi mengatur nasib petani.

Di sisi lain, program intensifikasi dan modernisasi pertanian yang digembar-gemborkan sering kali hanya menyentuh permukaan. Traktor disalurkan tanpa pelatihan, pupuk bersubsidi diselewengkan, dan digitalisasi pertanian berhenti di seminar-seminar. Yang terjadi bukan revolusi hijau kedua, tapi stagnasi agraria.

2. Vietnam: Strategi Kolektif dan Keberanian Negara Mengorganisasi Produksi

Vietnam pernah hancur oleh perang, mengalami kelaparan besar, dan bergantung pada bantuan pangan internasional. Namun dalam tiga dekade terakhir, negara ini menjelma menjadi eksportir beras terbesar dunia, bersaing ketat dengan Thailand dan India. Apa rahasianya?

Jawabannya terletak pada keberanian negara mengambil posisi aktif sebagai aktor ekonomi pertanian. Pasca Doi Moi (reformasi ekonomi 1986), Vietnam tidak serta-merta menyerahkan sektor pangan ke mekanisme pasar bebas. Justru sebaliknya, negara membangun kerangka kolektif produksi melalui koperasi yang dimodernisasi. Tanah tetap dimiliki petani, tetapi diorganisasi dalam skala besar agar efisien. Negara menyediakan benih unggul, subsidi input, jaminan harga, serta membuka akses pasar ekspor.

Vietnam memahami satu hal yang terlupakan di Indonesia: bahwa petani tidak bisa diserahkan sendirian menghadapi pasar global. Maka negara berfungsi sebagai pengatur, penyedia, sekaligus pelindung. Hasilnya, bukan hanya produktivitas melonjak, tetapi kesejahteraan petani pun membaik. Antusiasme bertani tak pernah hilang, bahkan di tengah derasnya arus urbanisasi.

3. Tiongkok (RRT): Koperasi Modern dan Korporatisasi Sosialistik

Tiongkok memulai dari titik paling gelap: kelaparan massal era Great Leap Forward hingga revolusi kebijakan pasca 1978. Sejak itu, RRT melakukan reformasi agraria besar-besaran, bukan dengan membagi tanah seperti di Indonesia, tetapi dengan membentuk sistem penyewaan lahan kepada koperasi dan korporasi pertanian dalam satu kerangka kendali negara.

Model ini dikenal sebagai contracted farming under collective governance. Petani tetap memiliki hak atas tanah, namun mereka dapat memilih untuk menyewakan lahan ke koperasi atau BUMN pertanian, lalu bekerja sebagai operator dalam sistem produksi berskala industri. Negara menyediakan semua input, teknologi, serta pasar---sehingga risiko berada pada institusi, bukan individu petani.

Yang membedakan Tiongkok dari sistem kapitalistik murni adalah intervensi negara yang mendalam namun tetap adaptif terhadap pasar. Negara menetapkan harga dasar, memantau distribusi, dan menjaga stabilitas melalui cadangan strategis. Di sisi lain, investasi riset pertanian didorong besar-besaran. Petani muda dididik sebagai teknokrat agraria, bukan buruh lapangan.

Indonesia memiliki pilihan: terus berjalan dalam jalur liberal yang menyusutkan daya hidup petani, atau berani mendobrak dengan membangun model baru berbasis keberpihakan, kolektivitas, dan intervensi negara yang adil. Studi kasus ini memberi bukti bahwa negara yang berani mengambil tanggung jawab atas pertanian tidak hanya mampu menjaga pangan, tetapi juga mengangkat martabat petani sebagai pahlawan sejati peradaban.

BAB III -- Analisis Empiris Pertanian Indonesia (2020--2024)

A. Data Produksi, Impor, dan Konsumsi Beras

Di tengah gegap gempita narasi swasembada, data berbicara lain. Antara tahun 2020 hingga 2024, Indonesia menyimpan paradoks agraria yang tajam: produksi beras yang stagnan, impor yang meningkat, dan konsumsi yang terus menuntut stabilitas.

1. Produksi Beras: Stagnasi di Ladang yang Letih

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa produksi beras nasional pada 2020 berada di kisaran 31,63 juta ton. Angka ini mengalami sedikit peningkatan pada 2021 menjadi 31,36 juta ton GKG, namun kembali stagnan bahkan cenderung turun pada 2022 dan 2023, hingga mencapai sekitar 30,90 juta ton pada 2024 (estimasi akhir). Penurunan ini bukan semata-mata soal cuaca ekstrem atau perubahan iklim, melainkan juga:

Penyusutan lahan sawah: Alih fungsi lahan ke sektor non-pertanian meningkat, terutama di kawasan urban dan pesisir.

Menurunnya antusiasme petani: Generasi muda enggan mewarisi sawah, sementara petani lama mulai kelelahan secara ekonomi maupun sosial.

Tingginya biaya produksi: Harga pupuk melonjak, alat pertanian sulit diakses, dan dukungan teknis minim.

Secara produktivitas, laju pertumbuhan hasil per hektare cenderung stagnan di angka 5--5,2 ton/ha, jauh di bawah negara seperti Vietnam yang sudah menembus 6,3 ton/ha.

2. Impor Beras: Ketergantungan yang Meningkat

Narasi swasembada sering menjadi tema kampanye, namun realitas menunjukkan kenaikan impor beras yang signifikan. Data BPS menunjukkan bahwa:

Pada 2021, impor beras tercatat 407 ribu ton.

Tahun 2022 meningkat menjadi 429 ribu ton, dan melonjak drastis di 2023 hingga lebih dari 2 juta ton.

Tahun 2024 (hingga pertengahan tahun), angka impor telah melewati 1,6 juta ton, dan diperkirakan terus naik hingga akhir tahun.

Lonjakan ini menunjukkan bahwa negara bukan hanya mengisi kekosongan stok, melainkan juga kehilangan kendali terhadap siklus produksi dan distribusi dalam negeri. Bahkan ketika stok Bulog diklaim "cukup", harga beras eceran tetap melonjak di pasar, memperlihatkan distorsi dalam mekanisme distribusi dan peran tengkulak yang belum terpecahkan.

3. Konsumsi Beras: Antara Tradisi dan Tekanan

Konsumsi beras di Indonesia, berdasarkan data BPS dan Kementerian Pertanian, masih mendekati angka 95--98 kg/kapita/tahun. Dengan populasi lebih dari 275 juta jiwa pada 2024, maka total konsumsi beras nasional mencapai sekitar 26--27 juta ton per tahun. Di sinilah terlihat keanehan statistik:

Produksi (30--31 juta ton) tampak lebih tinggi dari konsumsi (26--27 juta ton), namun Indonesia tetap mengimpor jutaan ton beras setiap tahun.

Fenomena ini menunjukkan adanya inefisiensi dalam logistik dan distribusi, serta dugaan bahwa sebagian beras lokal kalah saing dengan beras impor dari segi kualitas dan harga di level konsumen menengah ke atas.

Tak hanya itu, program diversifikasi pangan---yang mendorong pengurangan ketergantungan pada beras melalui komoditas seperti sorgum, ubi, dan jagung---belum menunjukkan hasil signifikan. Perubahan pola konsumsi berjalan lambat, bahkan cenderung simbolik.

Menuju Krisis atau Momentum?

Data kuantitatif ini tidak berdiri sendiri. Ia adalah bayangan dari krisis yang lebih dalam: krisis kepercayaan petani terhadap masa depan, krisis tata kelola negara atas pangan, dan krisis kebijakan yang tidak pernah tegas berpihak pada produksi nasional. Indonesia menghadapi sebuah ambiguitas: secara nominal tampak surplus, namun secara struktural mengalami defisit.

Apakah data ini merupakan tanda-tanda krisis ketahanan pangan yang mendalam? Ataukah ia adalah cermin yang jujur, mengundang bangsa ini untuk menata ulang seluruh sistem pangan---dari hulu ke hilir---dengan fondasi kedaulatan dan keadilan?

B. Kesejahteraan Petani dan Tren Jumlah Petani

Dalam senyap ladang dan lekuk wajah petani yang tersamarkan matahari, tersimpan narasi getir: menjadi petani kini lebih mirip pilihan terpaksa ketimbang kebanggaan. Ironis di negeri agraris yang dibangun di atas sawah dan hujan, namun kini menua tanpa regenerasi.

1. Indeks Nilai Tukar Petani (NTP): Cermin Kesejahteraan yang Rapuh

Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) telah lama digunakan sebagai indikator sederhana untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani: jika NTP > 100, maka pendapatan petani secara riil naik; jika < 100, mereka berada dalam tekanan struktural.

Pada tahun 2020, NTP nasional berada di angka 99,47, menandakan pendapatan petani belum cukup menutupi biaya produksi dan konsumsi rumah tangga.

Tahun 2021 dan 2022, NTP sempat naik ke angka 103--106, namun tidak merata. Banyak provinsi di luar Jawa tetap berada di bawah garis aman.

2023--2024, meskipun terjadi kenaikan harga gabah, kenaikan harga pupuk, sewa lahan, dan kebutuhan pokok justru menekan NTP kembali turun ke kisaran 102--104 (per Mei 2024), masih terlalu rentan untuk disebut stabil.

Di balik angka-angka ini, terdapat kenyataan: petani tetap menjadi kelompok ekonomi paling rentan, menghadapi fluktuasi harga, gagal panen, dan kebijakan subsidi yang inkonsisten.

2. Upah Buruh Tani: Kerja Keras dengan Imbalan Kecil

Bagi buruh tani, terutama di Jawa dan Sumatra, kisahnya lebih getir. Data BPS menunjukkan:

Upah nominal buruh tani harian pada 2023 berkisar antara Rp 55.000 -- Rp 65.000, tergantung wilayah dan jenis pekerjaan.

Namun ketika disesuaikan dengan inflasi (upah riil), terjadi penurunan daya beli yang konsisten sejak 2021, terutama karena harga bahan pangan melonjak lebih cepat daripada upah.

Dengan kondisi seperti ini, menjadi buruh tani bukanlah jalan untuk keluar dari kemiskinan, melainkan lingkaran setia pada pekerjaan yang sudah tidak menjanjikan harapan jangka panjang.

3. Menyusutnya Jumlah Petani: Krisis Regenerasi Agraria

BPS mencatat penurunan signifikan dalam jumlah rumah tangga petani:

Pada 2013, ada sekitar 26 juta rumah tangga petani.

Tahun 2023, jumlah itu menyusut menjadi 16,8 juta, turun hampir 10 juta dalam satu dekade.

Dan yang lebih mengkhawatirkan: sebagian besar petani kini berusia di atas 45 tahun, dengan sangat sedikit generasi muda yang ingin melanjutkan usaha tani.

Hal ini didorong oleh:

Ketidakpastian pendapatan

Minimnya akses terhadap lahan dan teknologi

Rendahnya citra sosial profesi petani

Jika tren ini berlanjut tanpa intervensi struktural, maka bukan hanya petani yang punah---melainkan juga pengetahuan lokal, ketahanan pangan, dan kedaulatan atas tanah itu sendiri.

Menyemai Harapan di Lahan yang Retak

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa sektor pertanian Indonesia tidak hanya menghadapi masalah teknis, tetapi krisis sosial yang mendalam. Pertanian tidak lagi menjanjikan kesejahteraan, apalagi masa depan. Negara seolah membiarkan ketahanan pangan nasional digantungkan pada sisa semangat para petani tua, sementara tanah dijual pelan-pelan kepada investor atau dialihfungsikan secara diam-diam.

Dalam kondisi seperti ini, desakan untuk intervensi negara yang lebih besar, lebih progresif, dan lebih berpihak menjadi niscaya. Jika tanah adalah ibu, dan petani adalah anak-anaknya, maka bangsa ini sedang menyaksikan perpisahan yang perlahan tapi tragis.

C. Tantangan Struktural: Lahan Sempit, Produktivitas Stagnan

Bayangkan seorang petani yang mengolah tanah kurang dari satu hektar, berjuang di bawah panas yang tak berpihak, dihimpit biaya produksi yang terus naik, dan dihantui harga gabah yang tak pernah berpihak. Inilah wajah nyata dari struktur pertanian Indonesia yang timpang dan nyaris tanpa daya ungkit. Sebuah sistem yang berjalan seperti roda tua---berderak, lambat, namun terus dipaksa berputar.

1. Fragmentasi Lahan: Petani dalam Cengkeraman Sekat-Sekat Mikro

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari 50% petani Indonesia menggarap lahan kurang dari 0,5 hektar. Di beberapa daerah Jawa, bahkan tak jarang petani hanya memiliki seperempat hektar atau menggarap sawah milik orang lain sebagai buruh tani penggarap.

Kondisi ini diperparah oleh:

Alih fungsi lahan secara sistemik menuju sektor industri dan perumahan.

Minimnya perlindungan hukum atas lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).

Skema warisan agraria yang terus mengecilkan skala lahan melalui pembagian generasi.

Lahan sempit bukan sekadar soal ukuran---ia adalah jerat yang menghambat mekanisasi, efisiensi, dan skala ekonomi produksi. Dalam struktur seperti ini, petani tak mungkin melakukan inovasi, apalagi berdaya tawar dalam pasar.

2. Stagnasi Produktivitas: Beras di Antara Musim dan Ketakpastian

Walaupun beberapa wilayah mencatat produktivitas padi sekitar 5,1--5,4 ton per hektar, angka ini nyaris tidak berubah secara signifikan dalam dua dekade terakhir. Bahkan jika dihitung dari sisi efisiensi input-output, banyak petani mengalami hasil menurun akibat:

Kualitas benih yang tidak seragam.

Ketergantungan terhadap pupuk kimia yang harganya terus melonjak, namun efektivitasnya menurun.

Degradasi kesuburan tanah dan ketahanan terhadap iklim ekstrem.

Kurangnya pelatihan teknis dan inovasi adaptif di tingkat tapak.

Di saat negara-negara seperti Vietnam mampu mendorong produktivitas padi hingga 6--7 ton per hektar, Indonesia justru tergelincir dalam pola stagnasi struktural: investasi minim dalam riset terapan, lemahnya sistem penyuluhan, dan pendekatan kebijakan yang parsial.

3. Skema Dukungan yang Belum Menyentuh Akar Masalah

Pemerintah memang menggulirkan sejumlah program seperti:

Kartu Tani, untuk distribusi pupuk subsidi,

Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP),

Bantuan Alsintan (alat mesin pertanian),

Namun dalam pelaksanaannya, banyak petani tidak mendapat akses yang adil, bahkan kesulitan menavigasi sistem administrasi yang kompleks dan birokratis. Di sisi lain, tanpa konsolidasi lahan dan manajemen kolektif, efisiensi tetap tidak tercapai. Maka intervensi yang bersifat peralatan tanpa struktur kelembagaan yang kuat hanya menjadi tambal sulam, bukan solusi mendalam.

Paradoks Negara Agraris

Paradoks terbesar Indonesia adalah ini: negeri yang kaya akan tanah justru memiliki petani yang kehilangan tanahnya sedikit demi sedikit. Di balik data produksi nasional yang tampak stabil, tersembunyi struktur kerentanan yang semakin rapuh. Jika lahan makin sempit dan produktivitas tak kunjung naik, maka tak peduli seberapa banyak subsidi digelontorkan, ketahanan pangan akan selalu berada di ujung tanduk.

Situasi ini menegaskan satu hal: tanpa reformasi struktural---baik dalam penguasaan, pengelolaan, maupun kelembagaan pertanian---maka lumbung pangan hanya akan menjadi ilusi nasionalis tanpa dasar material.

BAB IV -- Pembelajaran dari Vietnam dan RRT

A. Sistem Manajemen Kolektif dan Dukungan Negara

Di kala Indonesia terus mempercayakan pertanian kepada petani kecil dalam isolasi---bertarung sendiri di tengah gejolak iklim, harga, dan beban modal---dua negara Asia, Vietnam dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), menunjukkan pendekatan yang berbeda: negara tidak mundur, melainkan maju menjadi pengatur utama dan pelindung kolektif sektor pangan.

Bukan hanya slogan swasembada, tapi realitas yang ditopang oleh desain kebijakan yang kuat dan keberpihakan struktural. Di sanalah letak kontras paling tajam: antara negara yang hadir dan negara yang ragu.

1. Vietnam: Kolektifitas Modern, Efisiensi yang Terukur

Vietnam, yang pernah dihantui oleh ketergantungan pangan pada masa perang, kini menjelma menjadi eksportir beras terbesar kedua di dunia. Transformasi ini tidak terjadi secara alamiah, melainkan hasil dari pendekatan sistematis: "Doi Moi"---reformasi struktural yang melepaskan sistem kolektivisasi lama dan menggantinya dengan model pertanian keluarga berbasis manajemen kolektif dan korporatisasi lahan.

Beberapa aspek kunci:

Konsolidasi Lahan Secara Sukarela: Petani menyewakan lahannya kepada koperasi desa atau korporasi agribisnis lokal, tetap menerima bagian hasil, namun menyerahkan pengelolaan pada manajemen profesional.

Negara Menjamin Input dan Pasar: Pemerintah menjamin akses petani terhadap benih unggul, pupuk bersubsidi, pelatihan modern, dan pembelian hasil panen melalui skema kontrak.

Koordinasi antar-daerah: Pengelolaan produksi dan distribusi dilakukan terpusat agar tidak terjadi surplus di satu tempat dan kekurangan di tempat lain.

Yang menonjol dari model Vietnam adalah fleksibilitas yang tetap menjamin efisiensi kolektif, sambil menjaga partisipasi petani sebagai mitra---bukan buruh dari sistem yang tidak mereka pahami.

2. Republik Rakyat Tiongkok: Negara Sebagai Direktur Agri-Sistem

Di RRT, kebijakan pertanian bukan sekadar urusan pangan, tapi strategi geopolitik dan stabilitas nasional. Dengan populasi lebih dari 1,4 miliar jiwa, jaminan pangan adalah jantung dari legitimasi Partai Komunis.

Maka tak heran jika sistem pertanian China sangat terstruktur:

Penguasaan Lahan Kolektif oleh Negara: Rakyat memiliki hak garap, tapi hak milik tetap dikuasai kolektif desa di bawah struktur negara.

Skema Penyewaan Lahan ke Korporasi Pertanian: Untuk mengatasi fragmentasi, negara mendorong sewa lahan ke agrikorporasi besar dan koperasi modern yang mengelola ratusan hingga ribuan hektar secara mekanis dan digital.

Subsidi Raksasa untuk Teknologi dan Riset: Negara mendanai riset genetik padi, AI pertanian, dan infrastruktur irigasi pintar.

Distribusi Stabil melalui Cadangan Pangan Nasional: Sistem penyimpanan nasional memastikan stok stabil dan harga terkendali, bahkan dalam krisis.

China tidak menyerahkan nasib pangan pada mekanisme pasar semata. Ia mengorkestrasi sistem pertanian dari hulu ke hilir. Petani diundang untuk tetap bekerja, tetapi tidak dibebani sebagai pusat produksi utama---peran itu beralih ke entitas yang lebih efisien.

3. Titik Temu: Negara sebagai Penanggung Jawab Bukan Sekadar Fasilitator

Vietnam dan RRT memiliki perbedaan ideologis dan historis, namun dalam pertanian, mereka sepakat dalam satu hal: pertanian bukan sekadar komoditas, melainkan soal ketahanan, harga diri, dan kedaulatan. Maka negara tidak cukup hanya hadir---ia harus mengatur, mendukung, dan bahkan mengambil alih struktur produksi bila perlu.

Inilah yang membedakan mereka dari Indonesia yang masih terjebak pada narasi "petani sebagai pahlawan pangan," namun tanpa memberikan senjata, perlindungan, atau arena yang adil.

Apakah Indonesia akan terus mempertahankan romantisme petani kecil dengan cangkul di tangan dan sawah sepetak, atau berani mengakui bahwa zaman telah berubah dan negara harus menjadi arsitek baru pertanian?

B. Peran Koperasi, BUMN, dan Korporasi Swasta

Di tengah dilema struktur pertanian yang terfragmentasi dan dominasi petani kecil di Indonesia, pertanyaan besar yang muncul adalah: siapa yang pantas dan mampu menjadi simpul baru dalam mengonsolidasikan sektor ini? Bila negara tidak bisa turun tangan langsung sebagai pelaku utama, maka perlu dipertimbangkan tiga aktor strategis: koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan korporasi swasta.

Ketiganya dapat memainkan peran sebagai penengah antara idealisme kedaulatan dan realitas efisiensi, namun hanya jika negara hadir sebagai pengarah aktif, bukan fasilitator pasif.

1. Koperasi: Pilar Demokrasi Ekonomi yang Terluka

Koperasi di Indonesia, khususnya koperasi tani, sering digambarkan sebagai alat ekonomi rakyat. Namun dalam kenyataannya, banyak koperasi di tingkat desa tersandera oleh lemahnya tata kelola, keterbatasan modal, dan pengaruh politik lokal. Koperasi kehilangan taringnya, bukan karena konsepnya gagal, tapi karena ia ditinggalkan oleh desain kebijakan negara yang tidak konsisten dan tanpa pembinaan sistemik.

Di Vietnam, koperasi justru direvitalisasi pasca-reformasi Doi Moi. Mereka bukan hanya menyewakan lahan, tetapi menjadi lembaga bisnis agraria modern: mengatur pengadaan pupuk, mesin tanam, hingga akses ke pasar ekspor. Dengan dukungan teknologi dan manajemen profesional, koperasi menjadi simbol efisiensi kolektif, bukan nostalgia kolektifisme.

Potensi koperasi Indonesia sangat besar, asal negara menginjeksi kembali kepercayaan, modal, dan perangkat hukum yang jelas. Koperasi bukan musuh korporasi, tapi jembatan antara petani kecil dan pasar besar.

2. BUMN Pangan: Kapal Besar yang Butuh Nahkoda Tegas

Peran BUMN di sektor pangan seperti Bulog, ID Food, dan Pupuk Indonesia ibarat kapal besar yang selama ini lebih sering mengapung di tengah gelombang tanpa arah jelas. Dalam banyak kasus, BUMN justru menjadi alat intervensi harga musiman atau alat politik pangan, bukan motor penggerak ekosistem pertanian nasional.

Padahal, BUMN memiliki potensi luar biasa jika difungsikan sebagai:

Pengelola lahan konsolidasi nasional.

Distribusi input produksi secara efisien.

Off-taker (penjamin pembeli) panen petani.

Penyedia infrastruktur pascapanen dan logistik.

China menunjukkan bagaimana perusahaan milik negara dapat mengorkestrasi pertanian skala besar secara strategis, bukan sekadar menjadi operator distribusi beras impor. Indonesia pun bisa melakukannya, asal ada visi yang terintegrasi antara pangan, energi, dan stabilitas ekonomi.

3. Korporasi Swasta: Efisiensi Tinggi, Tapi Perlu Etika Sosial

Peran sektor swasta dalam pertanian Indonesia masih dipandang ambigu. Di satu sisi, mereka memiliki kapasitas modal, teknologi, dan pasar. Di sisi lain, muncul kekhawatiran akan eksploitasi lahan rakyat, pengabaian ekologi, dan marginalisasi petani.

Namun pengalaman di China dan sebagian Vietnam menunjukkan bahwa korporasi bukan musuh petani---asal diatur dan diawasi secara ketat. Di China, perusahaan agribisnis raksasa seperti COFCO Group mengelola ratusan ribu hektare sawah dengan teknologi tinggi, tapi tetap mengikat petani lokal sebagai pekerja terlatih dengan gaji dan jaminan sosial.

Kuncinya bukan pada siapa yang mengelola, tapi bagaimana hubungan kerja diatur. Korporasi dapat menjadi pengelola, asal prinsip distribusi keadilan dan tanggung jawab sosial tetap menjadi syarat utama.

Menyulam Tiga Kekuatan: Solusi Hibrida Indonesia

Alih-alih memilih satu aktor dan menafikan yang lain, Indonesia membutuhkan model hibrida: koperasi yang diperkuat, BUMN yang disegarkan, dan korporasi yang diregulasi. Ketiganya harus dikoreografikan dalam ekosistem agraria nasional yang diatur oleh negara---bukan dibiarkan berebut pasar dan petani secara liar.

Negara tidak boleh absen. Ia harus menjadi dirigen dalam simfoni kolektif ini, memastikan bahwa efisiensi tidak dibayar dengan kemiskinan petani, dan kedaulatan tidak dikhianati oleh liberalisasi.

"Yang kita butuhkan bukan hanya petani yang giat, tapi sistem yang adil. Bukan sekadar produktivitas yang tinggi, tapi keadilan yang berakar."

C. Integrasi Teknologi dan Efisiensi Skala Besar

Di ladang-ladang pertanian Tiongkok dan Vietnam, kita menyaksikan transformasi yang tak lagi sekadar revolusi hijau, tetapi lompatan kuantum menuju agriculture 4.0. Sementara petani Indonesia masih mengandalkan cangkul dan almanak tradisional, negeri tetangga telah menautkan sensor tanah, drone pemupukan, dan algoritma cuaca ke dalam siklus tanam mereka. Ada peta masa depan yang sedang dibangun di luar pagar-pagar sempit kita: pertanian presisi dengan skala luas yang terukur.

1. Teknologi Bukan Lagi Pilihan, Melainkan Prasyarat Bertahan

Vietnam, dalam dua dekade terakhir, telah melampaui peran sebagai negara berkembang agraris. Mereka tidak hanya menggandakan hasil produksi beras, tetapi mengurangi jumlah petani tanpa mengorbankan ketahanan pangan. Bagaimana caranya?

Kuncinya adalah integrasi teknologi berbasis data---dari penggunaan padi varietas unggul tahan iklim ekstrem, alat tanam semi-otomatis, hingga platform digital yang menghubungkan petani dengan pasar dan kredit mikro.

Demikian pula di RRT, pemanfaatan AI pertanian, robot tanam, dan platform big data pertanian bukan hanya meningkatkan hasil panen, tetapi juga meminimalkan pemborosan input dan meningkatkan efisiensi rantai pasok. Bahkan, satelit digunakan untuk memantau pertumbuhan tanaman secara real time. Semuanya ini terjadi karena ada skala lahan yang besar, sistem yang terpusat, dan insentif teknologi yang konsisten dari negara.

2. Skala Kecil Tidak Efisien, Skala Besar Butuh Desain Ulang

Salah satu hambatan laten Indonesia adalah struktur lahan yang sangat terfragmentasi. Rata-rata kepemilikan sawah di bawah 0,3 hektare membuat penggunaan mesin canggih menjadi tidak ekonomis. Di sinilah letak kejanggalannya: kita ingin petani sejahtera, produktivitas meningkat, dan ekspor melonjak---tapi dengan unit usaha yang terlalu kecil untuk bersaing.

Vietnam dan RRT menyelesaikan paradoks ini dengan pendekatan konsolidasi lahan berbasis kelembagaan. Petani tidak kehilangan hak atas tanah, tetapi menyewakan atau mengintegrasikan lahannya dalam manajemen kolektif---baik oleh koperasi, korporasi, atau BUMN.

Dengan demikian, skala besar tercapai tanpa menggusur hak rakyat. Lahan-lahan petani dikonsolidasikan secara administratif, bukan represif. Inilah bentuk reformasi agraria baru, bukan dengan membagi tanah, tapi menyatukan pengelolaan demi efisiensi.

3. Indonesia Bisa---Asal Tidak Terjebak dalam Romantisme Lokal

Tantangan terbesar bagi Indonesia bukanlah ketidakmampuan teknis, tetapi keraguan untuk meninggalkan status quo. Banyak kebijakan pertanian kita masih terjebak pada semangat subsidi input dan program populis sesaat, bukan investasi jangka panjang dalam transformasi struktural.

Pertanyaannya bukan lagi "mau atau tidak", melainkan "siapa yang akan memimpin orkestrasi perubahan ini?"

Negara perlu menjadi pemimpin ekosistem inovasi pertanian, bukan sekadar operator pupuk.

Petani perlu diorganisasi secara produktif, bukan dikasihani dengan insentif politis.

Teknologi perlu diintegrasikan ke dalam kelembagaan produksi, bukan hanya dipamerkan dalam pameran.

Vietnam dan RRT telah membuktikan bahwa efisiensi skala besar dan kecanggihan teknologi tidak harus mengorbankan peran petani, selama sistemnya dibangun untuk inklusi, bukan dominasi.

"Kita tak bisa menanam padi masa depan dengan cangkul masa lalu dan kebijakan yang setengah hati. Dunia berubah, dan pangan adalah panggung terakhir kedaulatan sebuah bangsa."

BAB V -- Gagasan Nasionalisasi Pertanian Indonesia

A. Argumentasi Filosofis, Sosial, dan Ekonomi

Di negeri yang konon subur karena bertabur "emas hijau" ini, ironisnya, para penjaga perut bangsa justru hidup dalam ketidakpastian. Tanah yang dulu menjadi sumber kehormatan dan tumpuan hidup kini perlahan berubah menjadi beban warisan---terpecah-pecah, menyempit, dan ditinggalkan. Saat itulah muncul satu pertanyaan mendasar: Apakah pertanian dapat terus diserahkan pada logika pasar, ketika logika itu justru melemahkan akar pangan bangsa?

Gagasan nasionalisasi sektor pertanian, meskipun terdengar seperti gema masa lalu, kini justru menemukan relevansinya dalam krisis kontemporer. Ini bukanlah nasionalisasi dalam arti penyitaan represif, melainkan sebuah restatemen ideologis dan institusional bahwa tanah dan pangan tidak dapat dibiarkan menjadi komoditas liar dalam pusaran kapitalisme global---melainkan harus dilindungi, diorganisir, dan dikelola negara demi kepentingan hidup rakyat banyak.

1. Filosofis: Tanah, Pangan, dan Hakikat Negara

Dalam filsafat negara kesejahteraan, negara tidak hanya menjadi wasit, tetapi juga aktor aktif dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat. Pangan, sebagaimana pendidikan dan kesehatan, bukan sekadar produk ekonomi, tetapi hak hidup paling mendasar. Maka, ketika mekanisme pasar gagal menjamin distribusi dan produksi pangan secara adil, intervensi negara bukanlah pilihan ideologis, melainkan kewajiban moral.

Lebih jauh, dalam pandangan tradisi agraris Nusantara, tanah bukanlah properti individu semata. Ia adalah titipan generasi, sebuah kesepakatan sunyi antara manusia dan alam. Oleh karena itu, pendekatan laissez-faire atas sektor pangan dan lahan justru bertentangan dengan roh kebudayaan kita sendiri.

2. Sosial: Petani dalam Jerat Sistem yang Tidak Mereka Bangun

Petani hari ini adalah produsen yang terperangkap dalam rantai nilai yang tidak mereka kuasai. Mereka memproduksi beras, namun harga ditentukan tengkulak dan pasar global. Mereka mengolah lahan, namun tak punya kuasa atas modal, benih, pupuk, hingga distribusi. Sementara itu, anak-anak petani semakin menjauh dari sawah, melihat pertanian sebagai simbol keterbelakangan, bukan kehormatan.

Di tengah situasi ini, nasionalisasi pertanian harus dimaknai sebagai proses rekonstruksi struktur sosial, di mana negara hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai penjamin kelangsungan regenerasi petani, penyedia teknologi dan pasar, serta pelindung dari ketimpangan struktural.

3. Ekonomi: Efisiensi dan Keadilan sebagai Satu Kesatuan

Secara ekonomi, pendekatan individualistik terhadap pertanian skala kecil telah terbukti tidak efisien dan tidak berdaya saing. Fragmentasi lahan, lemahnya mekanisasi, dan ketergantungan pada cuaca menjadikan produksi pangan nasional stagnan, sementara permintaan terus meningkat. Ketergantungan pada impor menjadi ironi kronis bagi negara agraris.

Melalui nasionalisasi dengan model kelembagaan hybrid---yang menggabungkan kehadiran BUMN, koperasi petani, dan perusahaan teknologi milik negara---Indonesia dapat membentuk sistem pertanian modern yang efisien secara produksi dan adil secara distribusi. Petani menjadi bagian dari entitas produksi besar, bukan sebagai buruh upahan, tetapi sebagai anggota kolektif yang memiliki saham dan suara.

Negara dapat menjamin:

Konsolidasi lahan tanpa menghapus kepemilikan rakyat.

Penggunaan teknologi canggih tanpa ketergantungan swasta asing.

Harga dasar gabah yang layak dan menguntungkan.

"Bangsa yang tidak sanggup mengurus pangannya sendiri adalah bangsa yang berdiri di atas fondasi rapuh, siap runtuh saat badai datang. Maka nasionalisasi pertanian bukanlah nostalgia---ia adalah strategi bertahan hidup."

B. Skema Kelembagaan: BUMN Pertanian dan Petani Profesional

Dalam membangun sistem pertanian yang tahan banting sekaligus berkeadilan, negara tidak cukup hanya hadir sebagai regulator yang menjanjikan insentif atau subsidi. Diperlukan entitas kelembagaan yang aktif, kredibel, dan berpihak. Di sinilah muncul kebutuhan akan BUMN Pertanian modern yang tidak sekadar birokratis, tetapi operasional, adaptif, dan berpijak pada prinsip-prinsip kewirausahaan sosial. Namun, BUMN ini bukan berdiri sendiri. Ia harus membentuk simpul produksi bersama dengan entitas paling penting yang selama ini dilupakan dalam rantai nilai pertanian nasional: petani itu sendiri---yang dilatih dan diposisikan sebagai profesional.

1. BUMN Pertanian: Mesin Koordinasi dan Modernisasi

Gagasan BUMN Pertanian bukan berarti menciptakan lembaga baru dari nol, melainkan mengonsolidasikan potensi yang telah ada---seperti Bulog, PT Sang Hyang Seri, PT Pupuk Indonesia, hingga BUMDes yang relevan---ke dalam satu ekosistem yang terintegrasi. BUMN Pertanian bertugas sebagai pusat komando pertanian nasional, dengan fungsi-fungsi utama:

Manajemen produksi: dari pengelompokan komoditas, pemetaan lahan, hingga pengaturan musim tanam secara nasional.

Integrasi distribusi dan logistik: menjembatani kesenjangan antara produksi dan pasar, serta meminimalkan kerugian pascapanen.

Transfer teknologi dan inovasi: memastikan petani mengakses teknologi irigasi, bibit unggul, drone pemupukan, dan AI prediksi cuaca.

Investasi dan pembiayaan: menyediakan skema kredit murah berbasis kluster, bukan individu.

BUMN ini bekerja bukan dalam skema top-down, melainkan dalam struktur koperatif bersama petani, sebagai mitra strategis.

2. Petani Profesional: Dari Buruh Tanah ke Agen Pangan Berdaya

Dalam sistem ini, petani tidak lagi diposisikan sebagai subsisten survivor, tetapi sebagai profesional yang dikontrak dan dibina secara jangka panjang oleh negara melalui BUMN. Mereka digaji layak, mendapatkan pelatihan berkala, serta dimasukkan dalam sistem insentif berbasis produktivitas dan keberlanjutan.

Petani profesional tidak harus memiliki lahan pribadi. Negara (melalui BUMN atau BUMDes) dapat menyewa lahan tidur, melakukan konsolidasi blok, lalu menyusun skema kerja kolektif di mana petani menjadi pelaksana dan pemilik sebagian hasil secara saham atau insentif. Hal ini mengatasi:

Fragmentasi kepemilikan lahan.

Ketiadaan regenerasi petani.

Masalah produktivitas akibat skala kecil.

Lebih penting lagi, profesionalisasi ini membuka peluang mobilitas sosial. Anak petani tidak harus lari ke kota sebagai buruh informal, melainkan bisa menjadi agronomis, operator drone, analis data pertanian, atau manajer blok produksi. Pertanian menjadi pilihan karier, bukan kutukan turun-temurun.

3. Koperasi dan Skema Kluster

Untuk menjaga keberlanjutan dan partisipasi lokal, skema kelembagaan ini ditopang oleh koperasi petani yang terafiliasi dengan BUMN Pertanian. Koperasi bukan sekadar alat distribusi pupuk, melainkan:

Menjadi kanal suara petani dalam menentukan kebijakan lokal.

Mengelola keuntungan kolektif.

Menghubungkan petani dengan pasar melalui brand dan produk hilir (beras organik, beras fortifikasi, beras ekspor, dll.).

Koperasi menjadi jembatan antara sentralisasi efisiensi dan desentralisasi keadilan.

Dalam ekosistem ini, negara bukan diktator pangan, melainkan arsitek kebersamaan yang menjadikan pertanian bukan sebagai beban masa lalu, tetapi sebagai tulang punggung modernitas nasional. Melalui kombinasi BUMN yang profesional dan petani yang berdaya, kita merancang ulang peta pertanian nasional menuju kemandirian yang sejati.

C. Mekanisme Insentif dan Rekrutmen Petani Muda

Di tengah arus deras urbanisasi dan modernisasi, pertanian kian ditinggalkan oleh generasi muda. Lahan-lahan subur berubah menjadi perumahan dan kawasan industri, sementara desa-desa perlahan kehilangan denyut kehidupan produksinya. Statistik menunjukkan bahwa rata-rata usia petani Indonesia kini berada di atas 50 tahun, dan jumlah petani muda terus menurun drastis. Maka, jika nasionalisasi pertanian hendak dilakukan secara berkelanjutan, tantangan terbesarnya bukan hanya menciptakan struktur kelembagaan, melainkan menyalakan kembali api ketertarikan generasi muda untuk kembali ke sawah dengan kepala tegak. Untuk itu, diperlukan mekanisme insentif dan strategi rekrutmen yang radikal, terukur, dan menginspirasi.

1. Mengubah Narasi: Dari "Petani Tradisional" ke "Profesional Agropreneur"

Langkah pertama adalah rebranding identitas petani itu sendiri. Tak cukup memberi pelatihan atau fasilitas, negara perlu mengubah citra bahwa petani bukan sekadar buruh bercangkul, melainkan aktor utama dalam sistem pangan masa depan. Petani muda harus diasosiasikan dengan:

Teknologi (mengoperasikan drone, sensor tanah, aplikasi cuaca),

Kepemimpinan lokal (mengelola klaster, membuat keputusan),

Wirausaha (mengakses pasar, mengelola profit),

Patriotisme ekologis (penjaga tanah dan air negeri).

Seperti halnya TNI yang mencetak kebanggaan lewat sistem kaderisasi dan ideologi bela negara, nasionalisasi pertanian harus membangun ethos bela pangan. Menjadi petani adalah pilihan prestisius dan strategis.

2. Skema Insentif Multilapis

Petani muda tidak akan datang hanya karena dipanggil. Mereka datang jika ada jaminan masa depan. Untuk itu, skema insentif berikut dapat diterapkan secara terintegrasi:

Kontrak kerja 3--5 tahun dengan gaji dasar layak UMR + bonus produksi.

Asuransi jiwa, pertanian, dan kecelakaan yang dibiayai negara atau koperasi.

Tabungan pensiun dan dana pendidikan anak berbasis kontribusi.

Skema pinjaman mikro tanpa agunan bagi petani yang ingin naik kelas menjadi agropreneur.

Beasiswa dan fast track ke posisi teknokrat pertanian bagi lulusan terbaik (program magang, diklat khusus).

Prioritas perumahan desa produktif atau sertifikasi hak pakai lahan secara kolektif.

Dengan ini, pertanian bukan lagi medan ketidakpastian, melainkan jalur kehidupan yang memberi rasa aman dan harga diri.

3. Rekrutmen Petani Muda: Gabungan Strategi Militer dan Korporat

Untuk merekrut petani muda dalam skala besar dan berkelanjutan, dibutuhkan pendekatan ganda: top-down dan bottom-up.

Top-down: Pemerintah melalui Kemendikbud, Kementan, dan Kementerian Pemuda bisa melakukan pencarian bakat dan rekrutmen seperti program Paskibraka, Karbol, atau ASN. Kampus-kampus pertanian, SMK agribisnis, hingga pesantren pertanian menjadi target utama.
Bottom-up: Desa dan kecamatan diberikan kuota rekrutmen petani muda, dengan reward dana desa tambahan bagi yang berhasil menumbuhkan ekosistem pertanian inovatif.
Model pelatihannya dapat menyerupai bootcamp atau boarding program selama 3--6 bulan di bawah BUMN Pertanian, di mana peserta:

Tinggal di lokasi pertanian intensif.

Belajar langsung dari mentor agronomis dan wirausahawan tani sukses.

Diberi modal, tim, dan lahan uji coba.

Dievaluasi, dan yang lulus diangkat sebagai petani profesional.

Setiap peserta adalah benih pemimpin pangan masa depan.

4. Budaya dan Komunitas: Merancang Pertanian Sebagai Gaya Hidup

Petani muda tidak cukup dipanggil dengan uang dan program. Mereka harus diikat dengan semangat, komunitas, dan budaya baru. Maka dibutuhkan:

Festival tahunan petani muda nasional (dengan penghargaan dan showcase teknologi).

Platform media sosial pertanian dengan influencer muda.

Kompetisi inovasi agrikultur dan ekosistem desa digital.

Dukungan konten film, serial, dan dokumenter yang memuliakan dunia tani.

Jika pertanian kembali menjadi bagian dari mimpi dan kebanggaan anak muda, maka keberlanjutan pangan nasional telah menemukan akarnya kembali.

Petani muda adalah penentu nasib bangsa. Tanpa mereka, nasionalisasi hanyalah wacana; dengan mereka, kita punya harapan. Maka, insentif bukan hanya alat, tetapi ungkapan niat. Dan rekrutmen bukan sekadar administrasi, tetapi revolusi generasi. Inilah saatnya negara menyalakan obor baru di ladang yang lama: penerus petani bukanlah warisan---tetapi pilihan.

D. Simulasi Potensi Dampak terhadap Produksi dan Kesejahteraan

Jika nasionalisasi pertanian Indonesia dijalankan secara sistematis dan terencana---dengan pengelolaan negara yang kuat, dukungan teknologi, serta regenerasi petani---maka kita memasuki sebuah wilayah imajinasi strategis: bagaimana dampaknya terhadap produksi pangan nasional dan kesejahteraan petani? Meski belum dijalankan sepenuhnya, kita dapat mengajukan simulasi berbasis indikator yang relevan.

1. Simulasi Dampak terhadap Produksi Nasional Beras

Asumsi dasar:

Luas lahan eksisting (2024) untuk padi: 7,4 juta hektare.

Rata-rata produktivitas nasional: 5,2 ton/ha.

Total produksi saat ini: 38 juta ton gabah kering giling.

Dengan nasionalisasi pertanian:

Jika 60% lahan dikelola kolektif melalui BUMN, koperasi, atau sistem klaster, maka:

Skala produksi meningkat produktivitas naik menjadi 6,5 ton/ha (konservatif; Vietnam 6,7--7,1 ton/ha, RRT 6,9--7,4 ton/ha).

Maka potensi total produksi:
(60% x 7,4 juta ha x 6,5 ton) + (40% x 7,4 juta ha x 5,2 ton)
= 28,9 juta ton + 15,4 juta ton
= 44,3 juta ton, atau meningkat sekitar 6 juta ton dari kondisi eksisting.

Efek tambahan:

Mengurangi ketergantungan pada impor hingga 70--100% jika distribusi efisien dan pasokan stabil.

Memungkinkan Indonesia kembali menjadi eksportir bersih beras dalam jangka panjang.

2. Simulasi Dampak terhadap Kesejahteraan Petani

Asumsi dasar:

Harga GKP di tingkat petani saat ini Rp5.300/kg.

Biaya produksi konvensional: Rp3.500--4.000/kg.

Keuntungan petani kecil Rp5 juta/musim di bawah sistem individual.

Dengan sistem nasionalisasi dan kolektivisasi:

Negara atau BUMN pertanian menanggung sebagian biaya produksi (benih, pupuk, teknologi).

Petani mendapat gaji tetap + bonus hasil panen.

Skema koperasi menjamin distribusi profit yang lebih adil.

Hasil simulasi:

Simulasi ini menunjukan bahwa nasionalisasi pertanian dapat menaikkan pendapatan petani hingga 2--3 kali lipat, bahkan tanpa harus memperluas lahan. Ketika efisiensi skala besar dipadukan dengan jaminan sosial dan kelembagaan yang kuat, pertanian bukan hanya lebih produktif, tapi juga lebih manusiawi.

3. Manfaat Sosial dan Ekologis Tambahan

Selain indikator ekonomi langsung, berikut efek samping positif yang dapat dimodelkan:

Penurunan urbanisasi paksa karena desa menjadi lebih menarik untuk dihuni.

Pemulihan ekologi melalui praktik pertanian kolektif berkelanjutan (pengendalian pestisida, rotasi lahan, sistem irigasi terpadu).

Konsolidasi pangan sebagai alat geopolitik, menguatkan daya tawar Indonesia secara internasional dalam perdagangan komoditas pangan.

Simulasi ini tentu saja tidak menjanjikan surga instan. Namun ia menunjukan bahwa perubahan sistemik dalam pertanian bukanlah utopia. Dengan desain kebijakan yang solid, keberanian untuk menyentuh struktur kepemilikan lahan, dan kehadiran negara yang aktif---pertanian Indonesia dapat dilahirkan kembali sebagai fondasi kemakmuran nasional. Bukan dengan membebani petani kecil agar jadi pahlawan pangan, melainkan dengan membangun sistem yang membuat keberanian mereka dibalas dengan kesejahteraan yang adil.

BAB VI -- Tantangan dan Strategi Implementasi

A. Risiko Politik, Sosial, dan Birokrasi

Membayangkan negara mengambil alih dan menata ulang sektor pertanian bukanlah perkara teknokratis belaka. Ia adalah wacana yang sarat muatan politik, menggugah ketimpangan sosial, serta menantang struktur birokrasi yang sudah mapan. Di sinilah idealisme bertemu realitas, dan ide besar diuji di medan tempur implementasi.

1. Risiko Politik: Oligarki, Kepemilikan Lahan, dan Resistensi Elit

Pertama-tama, nasionalisasi pertanian menyentuh jantung kekuasaan agraria: siapa memiliki tanah, siapa mengendalikannya, dan siapa yang menikmati rente dari struktur tersebut. Dalam konteks Indonesia, distribusi lahan masih timpang. Data BPS dan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) menunjukkan bahwa sebagian besar lahan produktif dikuasai oleh segelintir pemilik, baik individu maupun korporasi.

Maka tak heran bila usulan nasionalisasi akan ditafsirkan sebagai ancaman langsung oleh oligarki lahan dan spekulan agraria. Mereka memiliki instrumen politik, media, bahkan hukum untuk menggagalkan reformasi ini. Tanpa dukungan politik yang kuat, kebijakan ini bisa tergelincir menjadi slogan kosong---atau lebih parah, dipelintir menjadi skema rente baru yang justru merugikan petani kecil.

2. Risiko Sosial: Trauma terhadap 'kolektivisme' dan Resistensi Petani

Masyarakat Indonesia memiliki sejarah kelam terkait nasionalisasi dan kolektivisme. Warisan Orde Lama yang dituduh 'komunis' dan dibasmi di era Orde Baru masih meninggalkan luka historis. Kata "kolektif", "nasionalisasi", atau "tanah untuk negara" bisa memicu kecemasan, bahkan penolakan, jika tidak dikomunikasikan dengan tepat.

Di sisi lain, sebagian petani telah terbiasa bekerja secara individual dengan otonomi penuh. Meskipun sistem itu terbukti tidak efisien, mengubah kultur ini membutuhkan pendekatan transformatif, bukan koersif. Petani harus diyakinkan bahwa sistem kolektif justru memberikan kepastian dan perlindungan, bukan merampas kebebasan mereka.

3. Risiko Birokrasi: Korupsi, Ketidakefisienan, dan Fragmentasi Kelembagaan

Usulan nasionalisasi mengandaikan hadirnya BUMN pertanian, koperasi yang profesional, serta sistem distribusi dan logistik pangan yang solid. Tetapi siapa yang menjamin bahwa institusi-institusi ini akan bebas dari korupsi dan inefisiensi?

Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa banyak BUMN gagal karena intervensi politik, tumpang tindih kebijakan, dan tidak adanya akuntabilitas. Sementara itu, koordinasi lintas lembaga antara Kementerian Pertanian, BUMDes, Perum Bulog, dan Pemerintah Daerah kerap tersendat oleh ego sektoral dan regulasi yang kontradiktif.

Tanpa reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh, nasionalisasi bisa menjadi jebakan: petani tetap miskin, negara rugi, dan pangan tetap impor.

Menatap Risiko sebagai Peta Jalan, Bukan Halangan

Namun, setiap risiko bukanlah akhir cerita. Ia adalah peta jalan, yang bila dibaca dengan cermat, justru membantu kita menghindari jebakan dan mengasah strategi. Apa yang dibutuhkan bukan hanya niat baik, tetapi arsitektur kebijakan yang kuat, kepemimpinan politik yang berani, dan partisipasi sosial yang tercerahkan.

Tanpa kesadaran atas risiko-risiko ini, nasionalisasi bisa jadi mitos baru. Tetapi dengan menghadapinya secara jujur dan menyusun strategi yang cerdas, gagasan ini dapat menjadi batu loncatan menuju transformasi pertanian Indonesia yang sejati.

B. Model Adaptasi: Sukarela, Insentif, dan Berbasis Data Spasial

Transformasi besar tak dapat dibangun di atas paksaan. Ia harus lahir dari kepercayaan, kesadaran, dan kepemilikan bersama atas masa depan. Karena itu, dalam menghadapi kompleksitas sosial dan politik pertanian Indonesia, gagasan nasionalisasi tidak dapat serta-merta dipaksakan. Ia harus dirancang sebagai model adaptif, yang merangkul keberagaman konteks lokal, menumbuhkan rasa memiliki dari bawah, dan bergerak berdasarkan data yang akurat.

1. Sukarela sebagai Titik Awal Transisi

Model pertama dan paling krusial adalah partisipasi sukarela. Petani tidak bisa direduksi hanya sebagai objek kebijakan; mereka harus menjadi subjek---aktor utama yang menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, pendekatan awal transformasi kelembagaan harus bersifat inklusif dan non-represif.

Pemerintah dapat menawarkan skema nasionalisasi terbatas berbasis kawasan, di mana petani yang bersedia menyerahkan pengelolaan lahannya kepada BUMN atau koperasi nasional akan memperoleh jaminan harga gabah, pembebasan biaya produksi, akses terhadap teknologi, dan perlindungan sosial. Partisipasi ini bersifat sukarela namun didorong oleh keberhasilan kawasan percontohan yang memberi teladan.

2. Insentif sebagai Pendorong Adaptasi Struktural

Keputusan rasional petani seringkali dipengaruhi oleh faktor insentif ekonomi dan keamanan pendapatan. Maka, model nasionalisasi yang ideal tidak sekadar menjanjikan kedaulatan pangan, tetapi juga jaminan keberlanjutan hidup petani. Oleh sebab itu, perlu dirancang sistem insentif yang mencakup:

Kontrak harga minimum untuk gabah dan hasil panen;

Asuransi pertanian dan jaminan gagal panen;

Insentif tunai atau subsidi tetap bagi petani yang bergabung dalam program nasionalisasi;

Skema pensiun dan jaminan hari tua bagi petani senior;

Kredit mikro berbunga nol untuk petani muda yang bersedia menjadi tenaga profesional pertanian nasional.

Dengan insentif yang konkret dan terukur, program nasionalisasi bukan lagi proyek ideologis, tetapi menjadi pilihan rasional yang menguntungkan secara ekonomi.

3. Basis Data Spasial sebagai Fondasi Implementasi Cerdas

Transformasi tidak mungkin dilakukan dalam kabut informasi. Pemetaan spasial berbasis teknologi geospasial adalah syarat mutlak dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi program ini. Dengan integrasi data lahan, pemilik, produktivitas, kesuburan tanah, dan infrastruktur irigasi, negara dapat:

Menentukan wilayah prioritas nasionalisasi berdasarkan efisiensi dan urgensi pangan;

Memetakan klaster pertanian strategis untuk skala besar;

Menyusun profil risiko dan potensi kawasan untuk adaptasi model;

Menghindari tumpang tindih kepemilikan atau konflik lahan;

Menyesuaikan kebijakan insentif berdasarkan kondisi riil di lapangan.

Model berbasis data ini akan memberi akurasi, legitimasi, dan transparansi, sehingga proses transformasi tidak terjebak pada pendekatan birokratis semata, melainkan bergerak dinamis sesuai fakta dan kebutuhan riil.

Menyulam Transformasi dari Kesadaran, Bukan Pemaksaan

Ketahanan pangan nasional tidak dapat dipaksakan dari atas, tetapi harus tumbuh dari kepercayaan yang dibangun secara bertahap. Model adaptif berbasis kesukarelaan, insentif, dan pemetaan spasial ini adalah jembatan antara mimpi besar dan realitas sosial-politik yang kompleks. Jika dijalankan secara bertahap dan konsisten, inilah jalan menuju pertanian Indonesia yang berdaulat, adil, dan berkelanjutan.

C. Roadmap 10 Tahun Menuju Kedaulatan Pangan Nasional

Membangun kedaulatan pangan bukanlah proyek satu rezim, apalagi sekadar respons terhadap krisis sesaat. Ia adalah visi jangka panjang, yang menuntut ketekunan struktural, bukan sekadar keberhasilan teknokratik. Untuk itu, dibutuhkan sebuah peta jalan 10 tahun yang realistis namun progresif, yang memadukan rekayasa kelembagaan, inovasi teknologi, perbaikan kesejahteraan, dan mobilisasi generasi baru petani profesional.

Tahun 1--2: Konsolidasi Data dan Pilot Project

Pendataan spasial dan sensus petani nasional berbasis teknologi GIS, mencakup kepemilikan, sewa, produktivitas, dan kondisi sosial ekonomi.

Pemetaan lahan strategis pangan nasional dan penetapan zona prioritas kedaulatan pangan.

Peluncuran pilot project nasionalisasi pertanian pada 5--7 kawasan dengan keberhasilan historis tinggi (contoh: Karawang, Klaten, Bone, Sidrap, OKU Timur).

Kampanye nasional "Petani Adalah Profesi Masa Depan" untuk membangun narasi baru dan mengikis stigma sosial terhadap profesi petani.

Tahun 3--4: Penguatan Kelembagaan dan Skema Insentif

Pembentukan BUMN Pangan Terpadu (seperti BULOG 2.0) dengan fungsi produksi, distribusi, dan stabilisasi harga.

Integrasi koperasi dan BUMDes dalam ekosistem pangan nasional untuk menjembatani petani lokal dan sistem nasional.

Implementasi insentif fiskal dan non-fiskal: jaminan harga, asuransi pertanian, dan bonus produksi bagi petani yang terintegrasi dalam skema nasionalisasi.

Pengembangan sekolah tinggi petani profesional, berbasis vokasi modern dan teknologi pertanian presisi.

Tahun 5--6: Ekspansi Skala Nasional dan Reformasi Agraria Fungsional

Ekspansi program nasionalisasi ke 15--20 provinsi prioritas pangan.

Skema penyewaan lahan sukarela oleh petani kepada BUMN/koperasi, dengan imbal hasil tetap.

Reformasi agraria fungsional: redistribusi lahan tidur dan eks-HGU ke BUMN atau koperasi pangan berbasis produktivitas.

Implementasi subsidi berbasis output, bukan input, agar mendorong efisiensi dan hasil nyata.

Tahun 7--8: Integrasi Teknologi dan Rantai Nilai Nasional

Implementasi pertanian presisi berbasis AI, IoT, dan sistem irigasi cerdas di seluruh wilayah nasionalisasi.

Pengembangan logistik dingin nasional (cold chain infrastructure) untuk distribusi pasca panen.

Kemitraan strategis dengan industri pengolahan pangan agar nilai tambah tetap di dalam negeri.

Penjaminan ekspor bagi surplus produksi dengan skema ekspor terukur dan stabilisasi stok nasional.

Tahun 9--10: Legalisasi Sistemik dan Kedaulatan Pangan Formal

Legislasi UU Kedaulatan Pangan Nasional, yang menjamin pengelolaan pertanian oleh negara untuk kebutuhan dalam negeri.

Pencapaian 90% swasembada beras dan komoditas utama.

Pembentukan Dewan Kedaulatan Pangan Nasional yang melibatkan negara, akademisi, BUMN, petani, dan masyarakat sipil.

Evaluasi dan publikasi laporan tahunan Kedaulatan Pangan Nasional Indonesia.

Membangun Masa Depan dengan Disiplin Sejarah

Roadmap ini bukan sekadar daftar langkah administratif. Ia adalah kontrak moral lintas generasi, yang menolak menyerahkan masa depan pangan Indonesia kepada pasar global yang tak menentu. Dalam dunia yang dihantui ketidakpastian iklim, geopolitik, dan volatilitas pasar, kedaulatan pangan adalah benteng terakhir peradaban. Dan Indonesia, dengan segala potensinya, hanya tinggal satu keputusan besar lagi untuk berani menempuh jalan itu---jalan yang panjang, terjal, namun penuh harapan.

BAB VII -- Kesimpulan dan Rekomendasi

A. Rangkuman Temuan dan Argumen Utama

Selama lima tahun terakhir (2020--2024), Indonesia menghadapi kenyataan pahit yang terus berulang: produksi beras stagnan, impor meningkat, dan kesejahteraan petani justru menurun. Ketahanan pangan, yang seharusnya menjadi fondasi kedaulatan nasional, justru dibangun di atas pondasi yang retak---ketergantungan pada pasar global, lemahnya insentif pertanian domestik, dan fragmentasi lahan yang membuat upaya modernisasi menjadi impian semu.

Analisis empiris mengungkap bahwa produksi nasional hanya cukup menutupi konsumsi dalam angka statistik, tapi tidak cukup memberi kepercayaan diri strategis. Jumlah petani menurun, luas lahan pertanian menyusut, dan produktivitas stagnan akibat lemahnya adopsi teknologi serta minimnya jaminan harga. Petani Indonesia, yang seharusnya menjadi ujung tombak ketahanan pangan, justru hidup dalam bayang-bayang kerentanan sosial dan ekonomi.

Dalam konteks global, Vietnam dan RRT menawarkan pelajaran berharga. Vietnam, dengan sistem kolektif dan dukungan kuat negara, mampu melesat sebagai eksportir beras utama dunia meski sempat dilanda perang dan kelaparan panjang. RRT bahkan melangkah lebih jauh: menyatukan teknologi, sistem insentif, dan konsolidasi lahan melalui koperasi serta kemitraan dengan korporasi swasta. Negara hadir, bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai arsitek pertanian masa depan.

Karena itu, penulis mengusulkan sebuah gagasan radikal namun terukur: nasionalisasi sektor pertanian strategis, khususnya pangan pokok. Ini bukanlah nasionalisasi dalam pengertian sosialis lama, melainkan reclaiming sektor strategis dari kekuatan pasar tak terkendali untuk dikembalikan pada kepentingan publik. Negara melalui BUMN pertanian, koperasi modern, dan petani profesional akan mengelola lahan secara efisien, berkelanjutan, dan berdaulat. Dengan desain kelembagaan yang tepat, insentif yang adil, serta roadmap 10 tahun yang sistematis, Indonesia dapat membangun ekosistem pangan nasional yang mandiri.

Ketahanan pangan tidak bisa dibangun hanya dengan berharap petani bertahan sendiri. Ia butuh perencanaan, keberpihakan, dan keberanian politik untuk mereformasi struktur secara menyeluruh. Dalam dunia yang menuju era krisis iklim, instabilitas geopolitik, dan kompetisi pangan global, Indonesia tidak punya pilihan lain: menjadi tuan atas tanahnya sendiri, atau menjadi konsumen abadi atas kebijakan pangan negara lain.

B. Usulan Kebijakan dan Langkah Prioritas

Dalam menghadapi krisis struktural sektor pertanian nasional, terutama komoditas strategis seperti padi, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan reformasi gradual atau tambal sulam kebijakan teknis. Diperlukan lompatan paradigma --- dari pertanian yang dikendalikan oleh logika pasar bebas menuju pertanian sebagai ranah kepemilikan dan kedaulatan negara, demi melindungi rakyat banyak. Berikut adalah usulan kebijakan dan langkah-langkah prioritas yang bersifat urgent, transformasional, sekaligus terukur:

1. Pembentukan BUMN Khusus Pangan Pokok Nasional

Negara perlu membentuk satu entitas BUMN baru atau memperluas mandat Perum Bulog, dengan misi tunggal: mengelola produksi pangan pokok (terutama beras) dari hulu ke hilir. BUMN ini akan:

Menyewa dan/atau membeli lahan milik petani kecil untuk dikelola secara kolektif dengan sistem profit sharing;

Menjadi penggerak utama adopsi teknologi modern, dari drone spraying, varietas unggul, hingga sistem irigasi cerdas;

Menjamin harga pembelian gabah (HPP) yang adil dan adaptif terhadap inflasi serta ongkos produksi.

2. Konversi Petani Tradisional Menjadi "Tenaga Ahli Pertanian"

Seperti program profesionalisasi guru atau bidan desa, petani harus diakui sebagai profesi strategis negara. Pemerintah pusat dan daerah perlu:

Mendirikan Akademi Petani Muda berbasis daerah, dengan kurikulum agribisnis, digitalisasi lahan, dan kewirausahaan pangan;

Memberikan tunjangan dasar, akses BPJS Ketenagakerjaan, dan jaminan pensiun bagi petani yang terlibat dalam sistem produksi nasional;

Mengembangkan jalur karier bertingkat bagi petani dalam sistem BUMN dan koperasi nasional.

3. Konsolidasi Lahan melalui Sistem "Sewa-Negara" dan Koperasi Digital

Untuk mengatasi fragmentasi lahan yang mematikan efisiensi skala, negara perlu menciptakan skema "Sewa-Negara", di mana:

Petani kecil menyewakan lahannya secara sukarela ke BUMN atau koperasi berbasis teknologi (platform);

Petani tetap menerima kompensasi tetap, bonus dari hasil panen, dan kesempatan kerja;

Koperasi digital menggunakan data spasial, citra satelit, dan AI untuk mengelola rotasi tanaman, pemupukan presisi, dan estimasi hasil.

4. Redisain Insentif Fiskal dan Subsidi Pertanian

Subsidi pupuk, benih, dan alat mesin pertanian (alsintan) harus diarahkan ulang agar:

Lebih tepat sasaran kepada kelompok tani dalam sistem kolektif BUMN/Koperasi;

Mendorong pertanian rendah emisi dan ramah lingkungan;

Memberi prioritas pada zona produksi strategis yang memiliki keunggulan agroklimat dan infrastruktur irigasi.

5. Pengendalian Impor Berbasis Proyeksi Real-time dan Risiko Nasional

Kebijakan impor beras harus diarahkan pada sistem yang:

Memanfaatkan dashboard nasional yang memproyeksikan pasokan, stok, konsumsi, dan risiko iklim secara real-time;

Melibatkan Dewan Ketahanan Pangan Nasional yang independen dari tekanan politik pasar;

Memberi prioritas penuh pada penyerapan hasil panen petani sebelum membuka kran impor.

6. Peluncuran Roadmap Kedaulatan Pangan Nasional 2025--2035

Diperlukan dokumen strategis lintas kementerian dan pemda, yang memuat:

Sasaran tahunan produksi, jumlah petani profesional, dan penurunan angka impor;

Skema insentif untuk wilayah dengan peningkatan produktivitas tertinggi;

Rencana investasi, mitra global strategis (misalnya untuk teknologi dan bibit), serta indikator keberhasilan berbasis SDGs dan indeks GFSI (Global Food Security Index).

Kebijakan pangan bukan semata persoalan pertanian, tetapi menyangkut kelangsungan hidup bangsa. Apa yang gagal disediakan oleh pasar, harus direbut kembali oleh negara. Sebab pangan adalah hak dasar, bukan barang dagangan. Jika tanah dan tenaga petani kita tetap terpinggirkan, maka Indonesia tak akan pernah benar-benar merdeka. Kini saatnya, negara mengambil kembali perannya: bukan untuk mengendalikan petani, melainkan untuk membebaskan mereka dari rantai kerentanan yang tak kunjung usai.

References

  1. Badan Pusat Statistik (BPS). (2021--2024). Laporan Produksi Padi Nasional dan Konsumsi Beras. Jakarta: BPS RI.

  2. BPS. (2023). Statistik Kesejahteraan Rakyat Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

  3. BPS. (2024). Nilai Tukar Petani (NTP) dan Struktur Ongkos Usaha Tani. Jakarta: BPS RI.

  4. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2022). Strategi Peningkatan Produksi dan Produktivitas Pangan Pokok. Jakarta: Kementan RI.

  5. Bulog. (2024). Data Stok, Distribusi, dan Impor Beras Nasional. Jakarta: Perum Bulog.

  6. FAO. (2023). Food Security and Nutrition in the World: Transforming Food Systems for Affordable Healthy Diets. Rome: FAO.

  7. FAO. (2022). Comparative Rice Production: Southeast Asia and China Overview. Rome: Food and Agriculture Organization.

  8. OECD & FAO. (2023). Agricultural Outlook 2023--2032. Paris & Rome: OECD/FAO.

  9. World Bank. (2021). Transforming Agriculture in Asia: New Frontiers for Productivity and Inclusion. Washington, D.C.: World Bank Publications.

  10. Scott, J. C. (1985). Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. Yale University Press.

  11. Bernstein, H. (2010). Class Dynamics of Agrarian Change. Fernwood Publishing.

  12. Pritchard, B. (2009). Agrarian Transition in Southeast Asia: State, Markets and Resource Access. Routledge.

  13. Rigg, J. (2005). Living with Transition in Laos: Market Integration in Southeast Asia. Routledge.

  14. Pingali, P. L. (2007). Agricultural Mechanization: Adoption Patterns and Economic Impact. Handbook of Agricultural Economics, Vol. 3.

  15. Huang, J., Rozelle, S., & Wang, X. (2010). Fostering or Stripping Rural Institutions? China's Agricultural Reforms and Implications for Rural Development. Journal of Development Studies, 46(3), 524--545.

  16. Vietnam Ministry of Agriculture and Rural Development. (2023). Rice Sector Development Strategy 2020--2030. Hanoi.

  17. Suhartono, I. (2022). Pertanian dan Kedaulatan Pangan di Tengah Perubahan Iklim dan Krisis Global. Jurnal Ekonomi Politik Indonesia, 17(2), 89--110.

  18. Nugroho, H. (2021). Oligarki dan Krisis Agraria di Indonesia. INSIST Press.

  19. Komnas HAM. (2023). Hak atas Pangan dan Konflik Agraria di Indonesia. Laporan Tahunan.

  20. Sahide, M. A. K., & Maryudi, A. (2020). The Challenge of Agrarian Reform in Indonesia. Land Use Policy, 99, 104--124.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun