Simulasi ini tentu saja tidak menjanjikan surga instan. Namun ia menunjukan bahwa perubahan sistemik dalam pertanian bukanlah utopia. Dengan desain kebijakan yang solid, keberanian untuk menyentuh struktur kepemilikan lahan, dan kehadiran negara yang aktif---pertanian Indonesia dapat dilahirkan kembali sebagai fondasi kemakmuran nasional. Bukan dengan membebani petani kecil agar jadi pahlawan pangan, melainkan dengan membangun sistem yang membuat keberanian mereka dibalas dengan kesejahteraan yang adil.
BAB VI -- Tantangan dan Strategi Implementasi
A. Risiko Politik, Sosial, dan Birokrasi
Membayangkan negara mengambil alih dan menata ulang sektor pertanian bukanlah perkara teknokratis belaka. Ia adalah wacana yang sarat muatan politik, menggugah ketimpangan sosial, serta menantang struktur birokrasi yang sudah mapan. Di sinilah idealisme bertemu realitas, dan ide besar diuji di medan tempur implementasi.
1. Risiko Politik: Oligarki, Kepemilikan Lahan, dan Resistensi Elit
Pertama-tama, nasionalisasi pertanian menyentuh jantung kekuasaan agraria: siapa memiliki tanah, siapa mengendalikannya, dan siapa yang menikmati rente dari struktur tersebut. Dalam konteks Indonesia, distribusi lahan masih timpang. Data BPS dan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) menunjukkan bahwa sebagian besar lahan produktif dikuasai oleh segelintir pemilik, baik individu maupun korporasi.
Maka tak heran bila usulan nasionalisasi akan ditafsirkan sebagai ancaman langsung oleh oligarki lahan dan spekulan agraria. Mereka memiliki instrumen politik, media, bahkan hukum untuk menggagalkan reformasi ini. Tanpa dukungan politik yang kuat, kebijakan ini bisa tergelincir menjadi slogan kosong---atau lebih parah, dipelintir menjadi skema rente baru yang justru merugikan petani kecil.
2. Risiko Sosial: Trauma terhadap 'kolektivisme' dan Resistensi Petani
Masyarakat Indonesia memiliki sejarah kelam terkait nasionalisasi dan kolektivisme. Warisan Orde Lama yang dituduh 'komunis' dan dibasmi di era Orde Baru masih meninggalkan luka historis. Kata "kolektif", "nasionalisasi", atau "tanah untuk negara" bisa memicu kecemasan, bahkan penolakan, jika tidak dikomunikasikan dengan tepat.
Di sisi lain, sebagian petani telah terbiasa bekerja secara individual dengan otonomi penuh. Meskipun sistem itu terbukti tidak efisien, mengubah kultur ini membutuhkan pendekatan transformatif, bukan koersif. Petani harus diyakinkan bahwa sistem kolektif justru memberikan kepastian dan perlindungan, bukan merampas kebebasan mereka.
3. Risiko Birokrasi: Korupsi, Ketidakefisienan, dan Fragmentasi Kelembagaan