Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menggagas Nasionalisasi Pertanian

4 Agustus 2025   11:54 Diperbarui: 4 Agustus 2025   11:54 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di sisi lain, program intensifikasi dan modernisasi pertanian yang digembar-gemborkan sering kali hanya menyentuh permukaan. Traktor disalurkan tanpa pelatihan, pupuk bersubsidi diselewengkan, dan digitalisasi pertanian berhenti di seminar-seminar. Yang terjadi bukan revolusi hijau kedua, tapi stagnasi agraria.

2. Vietnam: Strategi Kolektif dan Keberanian Negara Mengorganisasi Produksi

Vietnam pernah hancur oleh perang, mengalami kelaparan besar, dan bergantung pada bantuan pangan internasional. Namun dalam tiga dekade terakhir, negara ini menjelma menjadi eksportir beras terbesar dunia, bersaing ketat dengan Thailand dan India. Apa rahasianya?

Jawabannya terletak pada keberanian negara mengambil posisi aktif sebagai aktor ekonomi pertanian. Pasca Doi Moi (reformasi ekonomi 1986), Vietnam tidak serta-merta menyerahkan sektor pangan ke mekanisme pasar bebas. Justru sebaliknya, negara membangun kerangka kolektif produksi melalui koperasi yang dimodernisasi. Tanah tetap dimiliki petani, tetapi diorganisasi dalam skala besar agar efisien. Negara menyediakan benih unggul, subsidi input, jaminan harga, serta membuka akses pasar ekspor.

Vietnam memahami satu hal yang terlupakan di Indonesia: bahwa petani tidak bisa diserahkan sendirian menghadapi pasar global. Maka negara berfungsi sebagai pengatur, penyedia, sekaligus pelindung. Hasilnya, bukan hanya produktivitas melonjak, tetapi kesejahteraan petani pun membaik. Antusiasme bertani tak pernah hilang, bahkan di tengah derasnya arus urbanisasi.

3. Tiongkok (RRT): Koperasi Modern dan Korporatisasi Sosialistik

Tiongkok memulai dari titik paling gelap: kelaparan massal era Great Leap Forward hingga revolusi kebijakan pasca 1978. Sejak itu, RRT melakukan reformasi agraria besar-besaran, bukan dengan membagi tanah seperti di Indonesia, tetapi dengan membentuk sistem penyewaan lahan kepada koperasi dan korporasi pertanian dalam satu kerangka kendali negara.

Model ini dikenal sebagai contracted farming under collective governance. Petani tetap memiliki hak atas tanah, namun mereka dapat memilih untuk menyewakan lahan ke koperasi atau BUMN pertanian, lalu bekerja sebagai operator dalam sistem produksi berskala industri. Negara menyediakan semua input, teknologi, serta pasar---sehingga risiko berada pada institusi, bukan individu petani.

Yang membedakan Tiongkok dari sistem kapitalistik murni adalah intervensi negara yang mendalam namun tetap adaptif terhadap pasar. Negara menetapkan harga dasar, memantau distribusi, dan menjaga stabilitas melalui cadangan strategis. Di sisi lain, investasi riset pertanian didorong besar-besaran. Petani muda dididik sebagai teknokrat agraria, bukan buruh lapangan.

Indonesia memiliki pilihan: terus berjalan dalam jalur liberal yang menyusutkan daya hidup petani, atau berani mendobrak dengan membangun model baru berbasis keberpihakan, kolektivitas, dan intervensi negara yang adil. Studi kasus ini memberi bukti bahwa negara yang berani mengambil tanggung jawab atas pertanian tidak hanya mampu menjaga pangan, tetapi juga mengangkat martabat petani sebagai pahlawan sejati peradaban.

BAB III -- Analisis Empiris Pertanian Indonesia (2020--2024)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun