Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menggagas Nasionalisasi Pertanian

4 Agustus 2025   11:54 Diperbarui: 4 Agustus 2025   11:54 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Lebih jauh, dalam pandangan tradisi agraris Nusantara, tanah bukanlah properti individu semata. Ia adalah titipan generasi, sebuah kesepakatan sunyi antara manusia dan alam. Oleh karena itu, pendekatan laissez-faire atas sektor pangan dan lahan justru bertentangan dengan roh kebudayaan kita sendiri.

2. Sosial: Petani dalam Jerat Sistem yang Tidak Mereka Bangun

Petani hari ini adalah produsen yang terperangkap dalam rantai nilai yang tidak mereka kuasai. Mereka memproduksi beras, namun harga ditentukan tengkulak dan pasar global. Mereka mengolah lahan, namun tak punya kuasa atas modal, benih, pupuk, hingga distribusi. Sementara itu, anak-anak petani semakin menjauh dari sawah, melihat pertanian sebagai simbol keterbelakangan, bukan kehormatan.

Di tengah situasi ini, nasionalisasi pertanian harus dimaknai sebagai proses rekonstruksi struktur sosial, di mana negara hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai penjamin kelangsungan regenerasi petani, penyedia teknologi dan pasar, serta pelindung dari ketimpangan struktural.

3. Ekonomi: Efisiensi dan Keadilan sebagai Satu Kesatuan

Secara ekonomi, pendekatan individualistik terhadap pertanian skala kecil telah terbukti tidak efisien dan tidak berdaya saing. Fragmentasi lahan, lemahnya mekanisasi, dan ketergantungan pada cuaca menjadikan produksi pangan nasional stagnan, sementara permintaan terus meningkat. Ketergantungan pada impor menjadi ironi kronis bagi negara agraris.

Melalui nasionalisasi dengan model kelembagaan hybrid---yang menggabungkan kehadiran BUMN, koperasi petani, dan perusahaan teknologi milik negara---Indonesia dapat membentuk sistem pertanian modern yang efisien secara produksi dan adil secara distribusi. Petani menjadi bagian dari entitas produksi besar, bukan sebagai buruh upahan, tetapi sebagai anggota kolektif yang memiliki saham dan suara.

Negara dapat menjamin:

Konsolidasi lahan tanpa menghapus kepemilikan rakyat.

Penggunaan teknologi canggih tanpa ketergantungan swasta asing.

Harga dasar gabah yang layak dan menguntungkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun