Kurikulum pendidikan formal terlalu lama tersesat dalam angka, rumus, dan hafalan. Bahkan ketika seni masuk, ia sering diperlakukan sebagai pelengkap, bukan pembentuk utama jiwa. Padahal, seni adalah satu-satunya wahana di mana manusia bisa belajar menangis tanpa malu, marah tanpa menyakiti, mencinta tanpa memiliki.
Bayangkan kurikulum di mana:
Puisi dibacakan untuk menyembuhkan luka psikis.
-
Teater digunakan untuk memainkan konflik keluarga agar bisa dipahami tanpa trauma.
Lukisan ekspresionis diajarkan bukan untuk dinilai, tapi untuk dijadikan tempat berteduh dari badai emosi remaja.
Pendidikan seperti ini bukan lagi tentang keterampilan teknis seni, tapi tentang membentuk manusia yang mampu mengartikulasikan gejolak batinnya secara estetis dan aman.
2. Literasi Emosional: Membaca Diri, Membaca Orang Lain
Kita diajari membaca abjad dan angka sejak kecil, tapi tidak pernah diajari membaca rasa takut, rasa bersalah, rasa rindu---apalagi jika rasa itu terlarang secara sosial. Literasi emosional berarti mengenali emosi sebagai pesan, bukan dosa. Ia bukan sekadar pengendalian diri, melainkan pemahaman bahwa:
Hasrat tidak harus dipenuhi, tapi juga tidak harus disangkal secara membabi buta.
Amarah tidak harus dilampiaskan, tapi juga tidak boleh dipendam hingga menjadi penyakit jiwa.
Cinta tidak selalu berujung pernikahan, tapi tetap sah untuk dikenang.