Dalam arus besar digitalisasi, sensor bukan lagi sekadar lembaga negara atau norma agama, melainkan diperkuat oleh algoritma dan logika biner dari media sosial. Sensor hari ini bersifat otomatis dan tersembunyi, namun berdampak luas: ia tidak lagi menimbang nuansa, melainkan menyortir ekspresi manusia menjadi dua kutub ekstrem---vulgar atau tabu.
1. Sensor Dogmatis: Warisan yang Menumpulkan Simbolisme
Sejak lama, sensor dogmatis---baik dalam bentuk hukum agama, moral kolektif, maupun tata susila negara---telah memaksa ekspresi seni untuk berjalan dalam lorong sempit. Namun dalam masyarakat simbolik seperti masa lalu, seni mampu menari di celah-celah sempit itu dengan kekuatan metafora, simbol, dan sublimasi. Chairil Anwar, W.S. Rendra, atau para pengarang hikayat Timur Tengah tahu betul cara menyampaikan kegelisahan eksistensial tanpa mengundang palu sensor.
Namun hari ini, sensor menjadi semakin tidak memberi ruang dialektika. Kritik atau tafsir kompleks sering dibungkam dengan label sesat, berbahaya, atau tak pantas---tanpa pembacaan makna.
Hasilnya? Banyak seniman atau pemikir memilih dua jalur:
Menjadi vulgar secara frontal, dengan harapan "kalau dilarang, sekalian saja telanjang!"
Atau menjadi diam dan patuh, menyimpan kegelisahan dalam ruang pribadi---tak tersampaikan.
Padahal dalam sejarah kebudayaan, kemajuan seni justru lahir dari ketegangan antara larangan dan kreativitas---di mana simbol, imajinasi, dan ironi menjadi alat melawan kekakuan moral tanpa kehilangan keindahan.
2. Algoritma Media Sosial: Mesin Penyaring yang Membunuh Nuansa
Berbeda dari sensor klasik, algoritma media sosial bekerja tanpa nurani. Ia menyaring ekspresi bukan berdasarkan makna atau kedalaman, tetapi berdasarkan klik, emosi ekstrem, dan keterlibatan massa. Maka, ekspresi yang subtil, puitis, atau kontemplatif---seringkali justru tidak lolos atau terkubur oleh sistem.
Lebih buruk lagi, algoritma ini menciptakan echo chamber yang memperkuat ekstrem: