Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Masyarakat Simbolik-Artistik yang Jujur Tapi Tidak Vulgar

21 Juli 2025   22:15 Diperbarui: 21 Juli 2025   22:15 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Narasi yang mengandung unsur erotis atau kekerasan pun, seperti dalam kisah Zulaikha dan Yusuf, dituturkan dengan lapisan simbol keindahan, ujian iman, dan pujian terhadap keteguhan hati. Tafsir sufistik atas kisah ini bahkan menempatkan Zulaikha sebagai simbol jiwa manusia yang jatuh cinta pada kebenaran ilahi, yaitu Yusuf sebagai personifikasi Nur Tuhan.

Dalam semua contoh di atas, kita belajar bahwa peradaban besar tidak menyangkal sisi gelap manusia, tetapi mengolahnya menjadi cerita, simbol, dan pertunjukan---dengan cara yang elegan dan reflektif.

Simbolisme bukan jalan pintas untuk mengaburkan kebenaran. Ia justru jalan panjang untuk memahami yang terlalu dalam untuk diucapkan, terlalu menyakitkan untuk dilihat langsung, dan terlalu kompleks untuk disederhanakan dalam hitam-putih moralitas.

C. Seni sebagai Medium Aman untuk Membicarakan yang Tak Terucap

Dalam ruang-ruang kehidupan sosial, ada banyak hal yang tak bisa---atau tak boleh---diucapkan secara langsung: hasrat terlarang, luka batin, rasa iri, trauma keluarga, hingga kebencian terhadap tatanan yang mapan. Jika semua itu dilemparkan begitu saja ke ruang publik dalam bentuk literal, tanpa saringan artistik, masyarakat akan canggung, defensif, atau bahkan represif. Di sinilah seni menjadi medium aman, bukan karena menutupi, tetapi karena menjembatani antara yang tak terucap dan yang perlu disadari.

1. Keamanan Psikis dan Sosial

Seni memungkinkan masyarakat berbicara tentang seksualitas, kematian, pengkhianatan, kekerasan, dan krisis identitas---tanpa membuat audiens merasa terancam. Sebuah film, puisi, atau pertunjukan teater bisa memunculkan tawa getir, tangis diam-diam, atau renungan mendalam yang tak akan muncul jika isu yang sama dibicarakan dalam forum formal, religius, atau politik.

Contohnya, puisi Chairil Anwar tentang Mirat muda adalah ungkapan kerinduan, sensualitas, dan kecanggungan masa muda. Namun karena dibalut dalam metafora dan ritme, puisinya menjadi reflektif, bukan voyeuristik. Pembaca tidak merasa mengintip hubungan pribadi, tapi sedang menyelami sisi manusiawi dari Chairil muda---yang mungkin juga ada dalam dirinya sendiri.

Begitu juga cerpen "Di Bawah Atap Lobo", meski menyentuh tema cinta lama dan luka adat, tidak membuat pembaca merasa sedang menonton perselingkuhan atau pelanggaran norma. Pembaca malah diajak merenung: apakah tradisi benar-benar tahu isi hati manusia? Apakah kebenaran bisa berdiam dalam luka?

2. Pengalaman Kolektif yang Privat

Seni menciptakan pengalaman yang pribadi sekaligus kolektif. Setiap penonton teater, pembaca puisi, atau pengamat lukisan mengalami narasi dalam batinnya sendiri---tapi semua itu terjadi serentak bersama yang lain. Ini membuat isu-isu tabu bisa diolah dalam ruang sosial tanpa harus ditelanjangi.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun