Generasi muda kehilangan bahasa untuk bicara tentang luka dan hasratnya.
Lembaga keluarga dan komunitas menjadi arena represi, bukan empati.
Sastra, seni, dan agama kehilangan peran penyembuhan batinnya karena terlalu takut menyentuh hal yang "tidak pantas".
3. Estetika sebagai Solusi: Menemukan Keseimbangan antara Kejujuran dan Kelayakan
Masyarakat tak bisa terus hidup dengan dua wajah---satu untuk publik, satu untuk batin. Satu-satunya jalan keluar bukanlah vulgaritas, tapi sublimasi estetis: menyusun narasi, simbol, dan ekspresi artistik yang jujur namun tidak murahan; dalam tapi tidak destruktif.
Baik Chairil Anwar dalam puisinya, maupun pengarang "Di Bawah Atap Lobo" dalam cerpennya, menunjukkan bahwa bahasa simbolik dan atmosfer artistik bisa menjadi jembatan antara hasrat yang liar dan nilai-nilai sosial. Bukan untuk menormalisasi, tetapi untuk memahami, mengolah, dan merawat luka manusia sebagai bagian dari keberadaan kita.
IV. Simbolisme Sebagai Terapi Sosial dan Budaya
A. Fungsi Seni sebagai Katarsis dan Sublimasi
Dalam dunia yang terus bergulat antara hasrat dan norma, antara kegelapan batin dan cahaya sosial, seni hadir bukan sekadar sebagai hiburan, tetapi sebagai ruang penyembuhan. Sejak tragedi Yunani hingga puisi sufistik, sejak wayang hingga modern art, seni telah menjadi medium katarsis---melepaskan tekanan batin yang tak bisa dikeluarkan secara langsung. Di saat yang sama, ia juga menjadi alat sublimasi---mentransformasikan dorongan liar menjadi makna yang lebih luhur dan dapat diterima sosial.
1. Katarsis: Membebaskan Diri dari Luka yang Membeku
Konsep katarsis pertama kali diartikulasikan oleh Aristoteles dalam Poetika, sebagai proses "pembersihan emosi" melalui tragedi. Dengan menyaksikan atau mengalami representasi penderitaan, penonton mengalami pelepasan emosional yang menyehatkan. Dalam konteks modern, ini berarti seni memberi kita izin untuk merasakan hal-hal yang secara sosial dilarang: amarah, iri, hasrat, bahkan kehancuran---tanpa harus melakukannya dalam dunia nyata.