Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Masyarakat Simbolik-Artistik yang Jujur Tapi Tidak Vulgar

21 Juli 2025   22:15 Diperbarui: 21 Juli 2025   22:15 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi muda kehilangan bahasa untuk bicara tentang luka dan hasratnya.

  • Lembaga keluarga dan komunitas menjadi arena represi, bukan empati.

  • Sastra, seni, dan agama kehilangan peran penyembuhan batinnya karena terlalu takut menyentuh hal yang "tidak pantas".

  • 3. Estetika sebagai Solusi: Menemukan Keseimbangan antara Kejujuran dan Kelayakan

    Masyarakat tak bisa terus hidup dengan dua wajah---satu untuk publik, satu untuk batin. Satu-satunya jalan keluar bukanlah vulgaritas, tapi sublimasi estetis: menyusun narasi, simbol, dan ekspresi artistik yang jujur namun tidak murahan; dalam tapi tidak destruktif.

    Baik Chairil Anwar dalam puisinya, maupun pengarang "Di Bawah Atap Lobo" dalam cerpennya, menunjukkan bahwa bahasa simbolik dan atmosfer artistik bisa menjadi jembatan antara hasrat yang liar dan nilai-nilai sosial. Bukan untuk menormalisasi, tetapi untuk memahami, mengolah, dan merawat luka manusia sebagai bagian dari keberadaan kita.

    IV. Simbolisme Sebagai Terapi Sosial dan Budaya

    A. Fungsi Seni sebagai Katarsis dan Sublimasi

    Dalam dunia yang terus bergulat antara hasrat dan norma, antara kegelapan batin dan cahaya sosial, seni hadir bukan sekadar sebagai hiburan, tetapi sebagai ruang penyembuhan. Sejak tragedi Yunani hingga puisi sufistik, sejak wayang hingga modern art, seni telah menjadi medium katarsis---melepaskan tekanan batin yang tak bisa dikeluarkan secara langsung. Di saat yang sama, ia juga menjadi alat sublimasi---mentransformasikan dorongan liar menjadi makna yang lebih luhur dan dapat diterima sosial.

    1. Katarsis: Membebaskan Diri dari Luka yang Membeku

    Konsep katarsis pertama kali diartikulasikan oleh Aristoteles dalam Poetika, sebagai proses "pembersihan emosi" melalui tragedi. Dengan menyaksikan atau mengalami representasi penderitaan, penonton mengalami pelepasan emosional yang menyehatkan. Dalam konteks modern, ini berarti seni memberi kita izin untuk merasakan hal-hal yang secara sosial dilarang: amarah, iri, hasrat, bahkan kehancuran---tanpa harus melakukannya dalam dunia nyata.

    HALAMAN :
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
    Lihat Humaniora Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
    LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun