Dalam narasi AI yang mandiri, keadilan sosial bukanlah embel-embel, melainkan inti cerita. AI yang tidak diarahkan pada keadilan hanya akan mempercepat ketimpangan, memperkuat bias algoritmik, dan mengasingkan kelompok-kelompok marjinal dari pusat-pusat pengambilan keputusan. Sebaliknya, AI yang berbasis narasi keadilan akan bertanya:
Siapa yang mendapatkan akses terhadap teknologi ini?
Siapa yang kehilangan pekerjaan karenanya?
Siapa yang dilibatkan dalam pengambilan kebijakan AI?
Kita membutuhkan narasi yang menuntut redistribusi bukan hanya kekayaan, tapi redistribusi kapasitas, kontrol, dan pengetahuan teknologi.
B. Pembelajaran dari Ketimpangan Global
Menurut Global AI Index (Tortoise Media, 2023), negara-negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Inggris menguasai hampir 70% investasi dan inovasi AI global. Sementara itu, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, berisiko hanya menjadi pasar---konsumen algoritma, bukan pencipta.
Tanpa narasi yang menuntut kedaulatan digital dan keadilan dalam akses infrastruktur, pendidikan, dan data, Indonesia akan tertinggal sebagai koloni digital.
C. Distribusi Teknologi sebagai Aksi Politik
Distribusi teknologi bukan sekadar soal membagikan laptop ke sekolah-sekolah atau membangun pusat data di kota. Ini tentang memastikan bahwa nelayan di Sulawesi, petani di Kulon Progo, buruh pabrik di Karawang, dan siswa di Nias punya ruang yang setara dalam ekosistem digital yang sedang dibangun. Ini adalah aksi politik yang menuntut:
Literasi AI berbasis lokal dan bahasa ibu.
Akses data dan internet sebagai hak asasi digital.