Kebijakan inkremental tanpa imajinasi transformasional, yang sekadar mengejar anggaran dan proyek tanpa memahami perubahan struktur sosial dan etika yang sedang terjadi.
Ketiadaan tokoh publik yang secara konsisten memimpin diskursus etis, filosofis, dan geopolitik tentang AI---padahal negara-negara lain sudah mulai menyiapkan AI leadership councils, algorithmic accountability acts, hingga AI constitutional frameworks.
Kondisi ini menimbulkan krisis feromon sosial: masyarakat tidak lagi memiliki rujukan naratif untuk memahami perubahan zaman. Akibatnya, muncul gejala-gejala sistemik yang mirip dengan koloni tanpa ratu:
Polarisasi opini dan konflik antar kelompok tanpa arah visi bersama.
Meningkatnya literasi digital tanpa literasi etis.
Ketimpangan adopsi teknologi antara pusat dan daerah, antara elite dan rakyat, antara kapital dan komunitas.
Ini bukan semata soal kegagalan teknologi. Ini kegagalan kepemimpinan.
Tanpa "feromon" berupa narasi besar, orientasi sosial akan tercerai-berai, dan AI justru akan menjadi akselerator ketimpangan, bukan keadilan. Analogi koloni lebah ini menegaskan satu hal penting:
"Dalam sistem kompleks, arah lebih penting dari kecepatan. Dan arah tidak bisa dibentuk tanpa pemimpin yang menciptakan makna bersama."
Jika para pemimpin hari ini tidak mampu menjadi "ratu narasi", maka masyarakat harus mulai menumbuhkan ratu narasi baru secara swadaya---berbasis pengetahuan, refleksi kolektif, dan keberanian membayangkan masa depan.
C. Statistik Kesiapan AI Indonesia vs Negara Lain