Namun, memiliki kedaulatan data dan algoritma tak cukup jika masyarakat tak memiliki kapasitas kritis dan imajinatif untuk membaca serta merancangnya. Maka pilar ketiga dari narasi AI mandiri adalah Narasi Literasi Digital dan Imajinasi Kognitif.
3. Narasi Etika, Budaya, dan Gotong Royong Digital
Jika teknologi adalah mesin, maka etika dan budaya adalah rem dan kompasnya. Dalam era disrupsi AI yang serba cepat dan kerap membutakan arah, masyarakat Indonesia tidak boleh hanya berlomba menciptakan teknologi yang pintar, tetapi harus menanamkan jiwa pada mesin. Inilah pentingnya membangun narasi etika, budaya, dan gotong royong digital---sebuah fondasi moral yang bukan hanya mencegah penyimpangan, tapi juga memberi makna dan arah bagi lompatan teknologi kita.
A. Etika Digital sebagai Filter Sosial Baru
AI kini telah menyentuh ruang paling intim: pendidikan anak, keputusan hukum, bahkan pilihan jodoh. Tanpa fondasi etis yang kuat, algoritma bisa menjadi alat penindasan, manipulasi, bahkan dehumanisasi.
 Menurut laporan UNESCO (2021) tentang AI Ethics, negara-negara berkembang seperti Indonesia berisiko menjadi "koloni etika digital", yaitu mengimpor standar moral teknologi dari luar tanpa adaptasi lokal.
Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan etika digital yang:
Berakar pada nilai kemanusiaan universal dan lokal seperti gotong royong, adab, dan kepedulian sosial.
Menekankan prinsip non-diskriminatif, inklusif, dan berkeadilan sosial.
Menolak otomatisasi keputusan tanpa keterlibatan manusia (human-in-the-loop).
B. Budaya Lokal sebagai Penjaga Identitas dalam Lompatan Digital
Teknologi bisa mengikis budaya, atau justru memperkuatnya---tergantung narasi. Jika tidak hati-hati, kita hanya akan meniru logika Barat: individualisme, efisiensi dingin, dan logika untung-rugi.
Narasi AI mandiri harus mengangkat bahwa budaya Indonesia bukan hambatan, tapi sumber inovasi.
Contohnya: