Suka Duka Menyiapkan Sajian Idul Fitri: Antara Kebersamaan dan Tantangan
Idul Fitri adalah momen yang dinantikan umat Muslim di seluruh dunia setelah sebulan berpuasa. Selain sebagai hari kemenangan, Idul Fitri juga menjadi waktu berkumpul bersama keluarga dan menikmati hidangan lezat. Namun, di balik kemeriahannya, tersimpan suka dan duka dalam proses menyiapkan sajian spesial ini.Â
Menyiapkan Sajian Idul Fitri
Salah satu kebahagiaan terbesar saat menyiapkan hidangan Idul Fitri adalah kebersamaan dengan keluarga. Ibu, anak-anak, dan bahkan anggota keluarga besar sering berkumpul di dapur untuk memasak bersama. Suasana penuh tawa, cerita, dan kerja sama ini mempererat ikatan kekeluargaan.Â
Beberapa sajian yang dipersiapkan untuk lebaran diantaranya adalah :
1. Ketupat
Ada berbagai hidangan yang tersaji saat idul Fitri, salah satu hidangan yang tak pernah absen adalah ketupat. Dulu, menjelang hari raya, membuat ketupat menjadi tradisi yang dilakukan bersama keluarga. Anyaman daun kelapa dibuat dengan teliti, lalu diisi beras sebelum akhirnya direbus hingga matang. Namun, kini semuanya menjadi lebih praktis. Ketupat kosong dengan berbagai ukuran tersedia di pasar, siap digunakan tanpa perlu repot menganyam sendiri.
Dulu, ketika saya masih duduk di bangku kelas 5 SD, sehari menjelang lebaran selalu menjadi momen yang spesial. Kakek kerap mengajak saya untuk membuat ketupat, sebuah tradisi yang seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana hari raya. Namun, saya tidak benar-benar belajar membuat ketupat dengan sengaja.Â
Semua berawal dari kejadian sederhana di kebun tetangga. Saat itu, ada seseorang yang menebang pohon kelapa. Daun-daunnya yang rimbun tampak terbuang begitu saja, sementara lidinya dimanfaatkan untuk membuat sapu lidi. Melihat daun kelapa yang berserakan, saya pun tergerak untuk mencoba sesuatu.Â
Dengan rasa penasaran, saya mulai merajutnya mengikuti apa yang pernah saya lihat dari kakek. Tanpa saya sadari, di sanalah saya pertama kali belajar membuat ketupat, bukan di bawah bimbingan langsung, tetapi dari kejadian yang terjadi begitu alami di sekitar saya.
Setiap menjelang Idul Fitri, saya selalu memanfaatkan keterampilan yang saya miliki untuk membuat ketupat sendiri. Bagi saya, proses ini bukan sekadar rutinitas, tetapi sebuah tradisi yang penuh makna. Saya memulainya dari awal, memanjat pohon kelapa atau mengambil janur yang masih segar, lalu menganyamnya dengan teliti hingga menjadi ketupat yang siap diisi beras.Â
Kini, ketika cucu-cucu saya sudah cukup besar untuk diajak bermain, saya mengajak mereka untuk ikut menyaksikan dan belajar cara membuat ketupat. Bukan hanya tentang keterampilan menganyam, tetapi juga tentang nilai-nilai kehidupan.Â
Lewat proses ini, saya ingin menanamkan kedisiplinan, keuletan, serta rasa menghargai hasil karya orang lain. Dengan cara sederhana ini, saya berharap mereka bisa memahami bahwa sesuatu yang bernilai tidak selalu datang secara instan, tetapi butuh usaha dan ketekunan. Ini adalah bagian kecil dari menanamkan karakter sejak dini, melalui janur, anyaman, dan kebersamaan.
Namun, seiring berjalannya waktu, keterampilan menganyam ketupat semakin jarang dikuasai. Banyak orang lebih memilih jalan pintas, langsung membeli di pasar daripada meluangkan waktu untuk membuatnya sendiri. Tradisi yang dulunya begitu erat dengan kebersamaan kini perlahan tergeser oleh kemudahan yang ditawarkan zaman.
2. Opor Ayam
Ketupat tak lengkap rasanya tanpa lauk pendamping yang pas, dan bagi keluarga kami, opor ayam selalu menjadi pilihan utama. Untuk urusan memasak, istri saya yang memegang kendali, dibantu oleh anak-anak kami, tiga perempuan yang mulai terbiasa dengan dapur sejak kecil.Â
Tugas saya sendiri cukup sederhana: menyembelih ayam dan menyianginya hingga bersih. Namun, untuk urusan memotong daging, saya menyerahkan sepenuhnya kepada istri. Bukan tanpa alasan, jika saya yang memotong, hasilnya sering kali tidak beraturan. Ada potongan yang terlalu besar, ada juga yang kecil sekali. Akibatnya, ketika dimasak, beberapa bagian justru hancur dan membuat tampilan opor kurang menarik. Jadi, lebih baik saya fokus pada tugas awal, sementara urusan pisau dan potongan rapi tetap menjadi keahlian istri saya.
3. Rendang.
Rendang bukan hanya milik orang Padang. Masakan khas Minang yang kaya rempah ini sudah menjadi menu wajib di banyak rumah saat lebaran, termasuk di keluarga kami. Meskipun bukan orang Padang, kami tetap berusaha menghadirkan rendang sebagai pelengkap hidangan hari raya.Â
Untuk urusan memasak, istri saya yang bertanggung jawab penuh. Sementara itu, saya hanya kebagian tugas sederhana---mengupas dan memarut kelapa, bagian yang tetap penting untuk menghasilkan santan kental sebagai kunci kelezatan rendang.Â
Tentu saja, soal rasa pasti ada perbedaan antara rendang yang dimasak oleh orang asli Padang dengan rendang buatan kami. Namun, setidaknya dari segi bentuk dan tampilan, hasilnya cukup mirip. Jadi, mohon maaf ya, saudara-saudara dari Padang---kami memang meniru, tapi tenang saja, ini hanya untuk konsumsi sendiri, bukan untuk dijual, hehehe.
4. Kue Kering
Nah makanan terakhir yang harus ada pada saat lebaran adalah kue kering. Saat awal-awal rumah tangga kami, kue kering biasanya dibuat sendiri, sehingga kami sibuk membuat beberapa macam kue beberapa hari menjelang hari H, karena tamu yang biasa hadir ke rumah banyak anak-anak sekolah, karena profesi kami adalah guru.
Seiring berjalannya waktu, ditambah usia dan kesibukan bertambah, serta zamannya internet, maka kami sekarang hanya membuat seadanya, dan sisanya kaminpesan secara daring, kuenya sudah datang dan tinggal menyajikan saja pada tamu.
Rasa bangga muncul ketika hidangan yang dibuat dengan penuh cinta disantap dan dipuji oleh sanak saudara. Tidak hanya itu, tradisi membagikan makanan kepada tetangga juga menambah kebahagiaan, karena berbagi adalah bagian dari semangat Idul Fitri.Â
Tantangan di Balik Kebahagiaan
Namun, di balik kebahagiaan tersebut, ada juga tantangan yang harus dihadapi. Menyiapkan banyak hidangan dalam waktu singkat bisa sangat melelahkan. Mulai dari belanja bahan yang harganya sering melambung tinggi sebelum Lebaran, hingga proses memasak yang memakan waktu berjam-jam. Belum lagi jika ada kesalahan dalam mengolah makanan, seperti ketupat yang tidak matang sempurna atau kue kering yang gosong.Â
Selain itu, tekanan untuk menyajikan makanan terbaik kadang membuat stres, terutama bagi ibu-ibu yang ingin memastikan semua hidangan sempurna untuk tamu. Kelelahan fisik dan mental sering menjadi tantangan tersendiri, apalagi jika harus mengurus banyak hal sekaligus, seperti membersihkan rumah dan menyambut keluarga yang pulang kampung.Â
Makanya untuk mengatasi tantangan dan meminimalisir rasa kecewa, isteri saya sekarang tidak memforsir tenaga untuk membuat kue lebaran, dia cukup ambil HP buka grup WA atau status orang yang dipercaya, pesan dan menyiapkan uang untuk membayar pada saat datang. Jadi prinsip pasar digital digunakan pada saat menjelang lebaran
Kesimpulan
Menyiapkan sajian Idul Fitri memang penuh suka dan duka. Di satu sisi, kebersamaan dan kebahagiaan keluarga membuat semua usaha terbayar. Di sisi lain, kelelahan dan tekanan dalam menyiapkan hidangan menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Namun, semua itu tidak mengurangi makna Idul Fitri sebagai hari yang penuh berkah dan kebahagiaan. Yang terpenting adalah niat ikhlas dan kebersamaan, karena makanan hanyalah pelengkap, sedangkan silaturahmi dan rasa syukur adalah inti dari perayaan ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI