Di dinding, kalender terus berganti halaman. Musim hujan tiba sesuai waktunya. Singkong pun dipanen sebagaimana biasa. Piring seng yang sudah sumbing tetap dipakai sehari-hari.
***
Di tempat lain, orang-orang menafsirkan tanda menurut cara mereka. Seorang ahli naskah di negeri jauh menemukan kalimat yang muncul kembali pada halaman tua ketika disinari bulan purnama.
Ketika harimau putih duduk bersama naga dan Garuda membelah langit, perang para leluhur dimulai.
Orang-orang di pantai selatan tidak lagi mengunggah cahaya merah. Mereka memilih menyapanya dengan doa.
Di kaki Tangkuban Parahu, ada yang mengaku melihat bayangan putih duduk sebentar lalu lenyap menuju timur. Di Purwakarta, hujan kadang turun membentuk lingkaran rapi di tanah. Itu tidak terjadi setiap hari, dan tidak untuk dipertontonkan.
***
Tentang Raga, orang-orang hanya tahu sedikit. Seorang tetangga pernah bermimpi melihatnya duduk di tangga sekolah, menulis sesuatu yang tidak terbaca. Seorang pengantar air galon mengaku pernah bertemu anak itu di pasar, menawar cabai dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
Mungkin itu karangan. Mungkin itu cara dunia menenangkan orang yang ditinggalkan.
Seorang ibu di Garut merapikan baju di lemari. Ia tahu anaknya tidak pulang dengan cara yang ia mengerti. Namun ia juga sadar ada anak-anak yang pulang bukan ke rumah, melainkan kepada sesuatu yang lebih besar dari rumah itu sendiri.
Ia menyimpan sehelai kain putih di laci, yang baunya tidak berubah meski dicuci. Di malam tertentu, ia meletakkan segelas air di beranda. Setelah itu, ia bisa tidur lebih nyenyak.