Keris muncul dari nada yang tidak ditulis siapa pun. Gagangnya seolah menyimpan pukulan gamelan. Bilahnya bergoyang pelan seperti napas. Raga mengangkatnya. Udara di sekeliling mengerut.
"Dengan nama tanah ini," katanya, dan ia bisa merasakan lembut rumput yang pernah membasahi telapak kakinya. "Air ini," lalu ia melihat ibunya menaruh kendi di dekat sumur. "Langit ini," dan ia menatap semua yang pernah biru, pernah abu-abu, pernah gelap. "Aku kunci kembali jalan kalian. Tapi hanya sampai generasi berikutnya."
***
Ada suara yang sekaligus keluar dari ribuan mulut yang tak terlihat. Bumi menarik napas panjang. Topeng kayu itu retak tanpa suara. Orang yang memakainya menjadi sedikit lebih mirip manusia yang pernah menepati janji. Bayangan itu pun surut seperti air yang ditarik kembali ke mulut bumi. Angin berembus pelan, mengembalikan malam ke bentuk semula.
Sesudahnya tidak ada tepuk tangan. Tidak ada musik pengantar. Cahaya yang membungkus tubuh Raga tidak padam, melainkan mengecil dan merapat seakan berubah menjadi cahaya yang sangat halus. Kidrajat menutup mata dan meletakkan dua jarinya di tanah. Kang Dedi menunduk.
Ketika mereka menoleh, Raga sudah tidak berdiri di sana. Di tengah lingkaran batu hanya ada selembar kain putih yang dingin oleh embun, dan sebuah keris emas yang tertancap pada batu basah berembun. Keduanya tidak memantulkan apa pun, hanya menyimpan keheningan dan makna yang tak terucapkan.
***
Waktu berjalan di kaki gunung seperti biasa. Orang-orang pulang, menutup pintu, menyeduh teh. Kabar tentang malam itu tidak diunggah oleh siapa pun. Bukan karena takut. Barangkali karena beberapa kejadian akan tetap lebih abadi bila dibiarkan kembali menjadi bagian dari tempatnya sendiri.
Keris disimpan dalam peti kayu yang dijaga oleh tujuh keluarga yang namanya tidak ditanyakan, tidak disebut. Mereka bukan orang sakti. Mereka hanya orang yang mengerti cara bersabar. Mereka tidak berjanji untuk menang. Mereka hanya berjanji untuk berjaga.
***
Ibunya menunggu di beranda selama beberapa hari, lalu mulai jarang melakukannya. Bukan karena berhenti berharap, melainkan karena belajar mengganti harap dengan doa yang lebih pasrah.