***
Sosok itu menamakan dirinya hanya dengan bayangannya. Laut menggemakan satu dua gelombang dalam kepala Raga. Ia melihat kilasan perahu kecil yang berkiblat pada bintang, kulit manusia dilumuri warna putih asin, anak-anak ditidurkan dengan kisah yang tak pernah selesai.
Ada janji lama, pikirnya. Janji yang dibuat untuk melindungi, tapi seperti semua janji, sisi lainnya adalah tagihan.
"Tidak semua bisa ditahan oleh niat baik," suara itu menyapu udara. "Kalian tahu apa yang diminta."
***
Raga menatap tanah di bawah kakinya. Ia mengingat semua yang akan ia tinggalkan bila menanggapi permintaan dunia dengan darahnya sendiri. Ia mengingat ibunya dengan aroma bawang dari dapur, kendi air di dekat sumur, dan suara panggilan lembut setiap pagi. Ingatan sederhana yang menempel lebih kuat dari apa pun. Ia mengingat dadanya ketika cahaya pertama masuk, hangatnya yang bukan milik orang lain.
Ia tahu ia adalah wadah. Ia juga tahu wadah berhak mengatakan kapan ia penuh.
Suara-suara di kepalanya riuh. Ada yang marah, ada yang memohon, ada yang menuntun. Raga berdiri dan memutuskan tidak menutup telinga pada dirinya sendiri.
"Kalau ini tentang janji," katanya, kali ini dengan suaranya sendiri yang jernih. "Biarkan aku yang menandatanganinya."
***
Langit menegang. Kilat mencari tempat jatuhnya. Dari telapak tangan Raga, cahaya itu kembali memancar. Bukan cahaya yang menakuti, melainkan api yang tahu untuk apa ia menyala.